Rabu, 21 Juli 2021

Bagian dua : Keliru

Bagian dua

Keliru

Matahari siang ini terasa seperti pemantik api yang baru saja dinyalakan. Tak ada kata lain yang lebih pantas disematkan selain panas. Anginpun entah kemana perginya, terlebih lagi hujan. Seakan hilang ditelan bumi. Namun teriknya siang ini berhasil membawakan awan-awan cerah nan tenang bersemayam indah dilangit. Bak pemandangan elok yang tak sanggup dilewatkan sedetikpun dengan mata telanjang, aku masih memandanginya dengan wajah mendangak keatas serta peluh yang kini bercucuran di dahi. Entah setan apa yang merasukiku siang itu, teriknya pun tak membuatku melewatkannya. Hingga sekian detik berlalu, pemandangan itu kini tergantikan oleh mendung yang seketika datang bergerombol. Bersamaan dengan angin yang mengikis hawa panas siang itu, yang kemudian menerpaku, menerpa helaian rambutku.

Kejadian kala itu seakan memecah belah perasaaanku, mempermainkanku. “ah” benakku melesatkan kata selagi aku memutar kepala ke segala arah dengan rileks.

Tak butuh waktu lama hingga pada akhirnya mataku terpejam, memutar kenangan. Kenangan yang tak ingin ku ingat, terlintas begitu saja dikepala. Jangankan kamu, aku bahkan tak paham lagi dengan diri sendiri. Perasaan tenangku musnah begitu saja, terganti dengan rasa kesal dan sesal atas kepergianmu saat itu, kepergian diatas kakimu sendiri.

Aku yakin kamu pun juga menimbun pertanyaan ini dalam hatimu, ‘lantas mengapa kamu yang menyesal?’ Bila boleh kujawab, aku menyesal atas ratusan kenangan bersamamu yang kini hanya bisa kunikmati sendiri dengan rasa perih, dengan luka atas kepergianmu, dengan kejujuranmu yang berhasil meruntuhkan perasaan yang kuyakini sempat ada dari dirimu. Sesal ini menjalar, menyulut amarah yang tersimpan rapat setelah kepergianmu, seperti bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

Kukira aku sudah ikhlas, namun ketika memori memutar kenangan itu, rasa sakitnya tak kunjung hilang. Masih terasa begitu nyata, menghancurkanku. Perihal ikhlas, nyatanya aku keliru. Ikhlas yang kutahu tak selayaknya begini. Memang seharusnya aku sadar, waktu tidak mungkin membawamu pergi secepat itu hilang dari perasaanku. Ditemani kata ‘kenapa?’ yang terus berlarian dikepala tanpa lelah menuntut jawab, kupejamkan mataku lebih lama meminta tenang.

Akankah menurutmu Tuhan turut andil atas rasa ini setelah perasaan ikhlas yang kemarin disematkan-Nya padaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar