��

��

Senin, 14 November 2016

cerpen "Berempat" bagian 1



 ‘Aku adalah satu dari beberapa lainnya yang tak pernah percaya akan adanya persahabatan dengan lawan jenis, tanpa salah satunya memiliki perasaan yang lebih dari sekedar sahabat.’

Kurasa terik matahari menyusup dalam rongga-rongga kelas yang terbuka dan menghangatkan seisi ruangan dengan temperature yang cukup tinggi. Sehingga ketika kulihat sekeliling, mereka yang berada di ujung-ujung ruangan sedang mengibas-ngibaskan tangannya. Beruntungnya aku yang terduduk dibawah salah satu kipas angin yang terpasang di dalam kelas. Setidaknya aku sedikit merasa sejuk karena-nya.
Suasana kelas terasa senyap. Jam kosong hari ini membuat mereka menenggelamkan diri pada kesibukannya masing-masing. Pada gadget yang mereka miliki, pada cerita yang mereka perbincangkan, pada candaan yang mereka tertawakan, namun tidak denganku yang menikmatinya dengan kebosanan, yang membuat kedua tanganku berpangku dagu. Sedetik lalu kutundukkan wajah, sedetik kemudian kubenamkan wajah pada bibir meja sehingga keningku menempel, sedetik setelahnya ku tempelkan pipi pada muka meja. Begitu terus berulang hingga seseorang mengejutkan jantungku pada ketenangan. “Gaa..”. Sekejab aku melarikan diri dari mimpi yang hampir menyentuhku. “Hmm..”. balasku dengan rasa malas. “Ayo nonton ini” kata Rahma yang saat itu memang sudah lama terduduk disampingku yang sedari tadi menatap layar hp tanpa suara, akhirnya ia membuka percakapan sambil  menyodorkan hp nya padaku. “Sama siapa?” jawabku. Mata Rahma menyapu sekeliling kelas. Hampir aku membenamkan diriku lagi pada meja dihadapanku karena Rahma terlalu lama untuk menjawab pertanyaanku, lalu ia akhirnya membuka mulut “nah itu sama Bagus, Putra aja.” Kantukku hilang seketika, dan raut wajahku mulai menyipitkan mata. “Hah? Sama mereka? Serius kamu?” jawabku penuh tanya. “Iya,kamu gapapa kan?” Tanya Rahma.”Emm ga sih gapapa” balasku ragu. Aku terus berfikir. Aku memang sangat dekat dengan Rahma namun tidak begitu dekat dengan Bagus ataupun Putra. Lalu imajinasi ku melambung tinggi namun segera kutepis bayang semu itu.
Kemudian Rahma pun memanggil dua anak laki-laki itu yang memang sedang duduk satu meja diujung belakang ruang kelas. “heh kalian sini” panggilnya. Rahma memang terlihat sangat akrab dengan mereka berdua. “ayo berempat nonton ini mau nggak?” Tanya nya cepat. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan mereka bertiga. “ho.o yuk ntar aja pulang sekolah kan mumpung pulang pagi. Mau ga?” Jawabku bersahabat sebisa mungkin. “Aku sih ayo-ayo aja.” Bagus membuka suara. “yowes yo” akhirnya Putra pun mengakhiri percakapan.
Tak lama bel sekolah pun berdentang. Kami berempat langsung berkumpul di depan kelas dan segera beranjak meninggalkan sekolah. Dan akhirnya kami pun hang-out bareng. Begitu terus berulang hingga tanpa kami sadari kami menjadi dekat dan sering sekali bersama-sama dalam melakukan suatu hal. Kegiatan didalam kelas maupun diluar kelas, contohnya seperti saat jam istirahat tiba kami berempat menuju kantin, membuat kelompok belajar ataupun semacamnya. Waktu luang pun kami gunakan untuk sekedar bermain bersama seperti nonton,jalan-jalan,makan,dan lain-lain. Hari-hari kami lewati bersama. Aku menjadi semakin tahu tentang masing-masing dari mereka. Begitupun sebaliknya.
Masa-masa memberatkan saat sekolah pun datang. Tiba masa ujian yang paling ditakuti dan menjadi momok bagi para siswa nya. Begitu juga dengan ku. Namun entah mengapa ujian kali ini tidak begitu memberatkan beban ku. Entah karena itu hanya ujian tengah semester ataupun karena sekarang aku mempunyai sahabat yang sangat aku cintai. Ya, kami berempat membentuk sebuah persahabatan, karena keseharian kami yang selalu dilalui bersama. Mereka memang tidak menamainya tapi aku mempunyai nama kecil untuk kami,yaitu persahabatan berempat. Apa-apa yang kami lakukan selalu berempat menjadi dasar dari nama tersebut. Kami selalu bahagia atas apapun yang kami lakukan bersama.
Hari rabu minggu ini menjadi hari yang sangat ingin segera ku lewati dengan singkat. Seminggu jadwal ujian sekolah, baru dua hari terlewati. Terlebih, besok adalah jadwal ujian matematika. Entah, aku sangat lemah pada pelajaran matematika. Namun tidak dengan Rahma, ia jagonya pelajaran yang sudah layaknya hantu bagiku itu. “Teng Teng Teng” bel tanda pulang sekolah berdentang. Tak kusangka ujian hari kedua ini pun berhasil kulalui dengan mudah. Para siswa bergegas mengumpulkan lembar jawab mereka pada meja guru. Begitu juga dengan ku, Putra, Rahma, dan  Bagus. Ya, kami berempat berada pada ruang ujian yang sama. Seusai merapikan barang-barang kami berkumpul didepan kelas seperti biasanya yang kami lakukan. “Gimana nih besok matematika lagi!!” seru ku. “ho.o pie nih?..iya pie yo mesti susah soale besok” celoteh Putra dan Bagas. “yaudah belajar bareng aja yuk sekarang. Tak ajarin wes.” solusi Rahma .  “Tapi pulang dulu yuk ganti baju.” Jawab Putra. “halah Put, kelamaan.” Jawabku. “Yaudah biar aku sama Putra aja yang ganti, kalian gausah.” terus Bagus. “Yoi, lagian kan rumahku deket sama sekolah. Kalo kalian kan jauh.” tambah  Putra. “Hmm.. ya aku sama Mega tak duluan aja ya.” Tangkas Rahma cepat. “Eh di kafe biasanya aja ya? Aku laper nih. Biar ntar nongkrong sambil belajar.” Gerutu Putra. “ok di tempat biasa. Bye” tambahku.
Sampai di kafe kami belajar bersama seperti biasanya. Rahma mengajari kami bertiga pelajaran matematika dengan lihainya. Namun lama-kelamaan kami merasa jenuh dan akhirnya Rahma pun mengajak kami bertiga untuk pergi nonton film. Karena kami semua sedang bosan, akhirnya kami pun menyanggupi ajakan Rahma. Seusai nonton film tak terasa waktu terus berjalan hingga langit mempertontonkan perjalanan matahari yang akan bersembunyi. Kulihat hp ku bergetar. Ternyata sebuah pesan singkat dari orangtuaku untuk cepat pulang. Firasat ku tidak enak. Ada yang salah. Sesegera mungkin aku berpamitan pada teman-teman ku meskipun mereka sudah tahu alasannnya dan mengiyakannya. Aku pulang.
Langit meredup, matahari memadamkan cahayanya. Perjalanan pulang kali ini kunikmati dengan tergesa-gesa. Aku ingin segera sampai rumah. Entah. Akhirnya aku memasuki gerbang rumah dengan selamat. Namun aku tak tahu untuk nanti. Hatiku serasa bergetar. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Papa sedang terduduk di teras rumah menanti keadatanganku. Kuberanikan diri untuk sekedar bertatap muka dan akhirnya beliau membuka suara dengan memarahiku mengapa pulang terlambat dan menasihatiku karena ini sedang musim ujian dan tak seharusnya aku malah keluyuran. Papa adalah sosok ayah yang sangat tegas dan keras. Ia sangat memperhatikan aku sebagai putrinya. Dan seorang anak yang berbakti pun harus tunduk pada perintahnya. Aku hidup untuk kedua orangtuaku. Papa termasuk didalamnya. Aku hanya ingin membahagiakan mereka dan membuat mereka bangga akan ku.
Gila. Sangat tidak masuk di akal. Aku kesal-se-kesal-kesal-nya diri. Aku tidak bisa mengerjakan soal ujian matematika. Kurasa seperti sia-sia belajar kelompok kemarin. Aku marah juga kecewa. Namun pada diriku sendiri. Membuang waktu berlalu begitu saja. Membiarkan rasa bosan mengalahkan diri. sesal datang, juga pesimisku. Rupanya tak ada yang bisa kulakukan untuk dapat menaklukan matematika seperti Rahma. Bel sekolah berdentang. Tandanya ujian hari ini berakhir. Selalu, kami berempat berkumpul setelah mengerjakan ujian untuk sekedar membagi cerita atau keluh kesah mengerjakan soal ujian. Termasuk soal matematika yang sangat membuat ku muak barusan. Tanpa disangka Bagus mengajak untuk belajar bersama lagi. Begitu cepat mereka melupakan matematika. Ingatan ku berputar pada kemarin petang. Aku memutuskan untuk tidak ikut, bertolak belakang dengan apa yang diinginkan hatiku. Kuceritakan semuanya, tentang kejadian kemarin sore itu. Akhirnya mereka mengerti dan memaklumi keputusanku. Mereka pergi tanpa aku.
Waktu berlalu. Hasil ujian pun terpampang didepan wajahku. Mataku menjawab satu demi satu nilai yang ku peroleh. “baik..baik..baik..”benakku berkata. Hingga akhirnya terhenti pada nilai matematika. “Apa? Nggak tuntas? Seriusan ? duh gimana nih!” omelan batin ku terus berlanjut. Setelah guru mengatakan bahwa hasil yang diperoleh harus ditandatangani orangtua, aku menjadi gelisah saat ini. Apa yang harus ku katakan kepada papa. Bagaimana ini. Amarah papa sudah terlintas dalam bayangku. Aku takut.
 Keadaan rumah malam ini terasa sunyi. Walaupun semua orang yang ku sayangi berada di dalamnya. Mama, papa, dan kedua adikku. Ketenangan memberanikan ku untuk segera memberikan hasil ujian ku pada papa. Ya, untuk ditandatangani pastinya.  Semenit,dua menit,tiga menit, beliau terdiam. Papa mengoreksi dalam keadaan diam. Sebenarnya hasil ujian kali ini cukup bagus. Aku berada pada peringkat yang aman kurasa. Namun matematika layaknya mimpi buruk yang seketika datang saat aku tertidur nyenyak, merusak segalanya. Papaku membuka suara “matematika mu jelek banget padahal kemarin katanya belajar bareng. Percuma tau nggak, udah pulang sore juga, harusnya kamu bisa mikir kenapa hasilmu segini.” Layaknya batu karang yang dihantam sang ombak, layaknya pedang yang menancap di dadaku. Aku tertusuk sangat dalam. Sakit. Memang ini yang sudah ku fikirkan. Kata-kata seorang ayah yang tegas sudah seharusnya seperti ini. Kecewa terhadap sang anak. Aku tetap diam membungkam mulut “sampai beberapa minggu kedepan kamu nggak usah kebanyakan main, pulang sekolah langsung pulang, nggak ada lagi alasan.” Kata-katanya seperti menusuk ku sangat dalam dan lebih dalam lagi. Tak ada yang bisa ku sangkal. Ini yang memang layak aku dapatkan karena sudah menghancurkan rasa percaya nya.
Entah. Pagi ini mengapa matahari terlambat memunculkan sinar, menghangatkan ku yang kedinginan, mencairkan suasana dingin ini. Kelas nampak kosong. Karena baru beberapa siswa saja yang sampai. Kata-kata papa masih terasa di telingaku dan dibenakku, seperti kaset yang terus di putar tanpa henti sampai akhirnya Rahma datang menepuk pundakku. “Ga.. ada apa?” katanya. Saat mulutku hendak ingin membuka suara, Putra menyusul datang untuk mendengarkan. “jadi gini, aku..” tiba-tiba Bagus menyusul datang dan memotong pembicaraanku “ayo eh ujian kan dah selesai, ntar pulang sekolah kita nonton yuk lagi ada film bagus lho di bioskop.” , Rahma yang maniak film pun akhirnya menambahkan “ho.o iya nonton itu lho apa namanya yang lagi hits itu film horror…..” aku rasa mereka melupakan ku. Aku mencoba untuk diam saja. Menyimpan semua kata yang akan ku ungkapkan. Namun Putra seperti tahu akan-ku dan menghentikan suara-suara yang riuh menenggelamkan tujuan awalku untuk bicara. “woy!! Kalian bisa diem dulu nggak sih, Mega tadi mau ngomong bego malah kalian potong seenak jidat.” Suara Putra bernada emosi berhasil mencairkan suasana di atmosfer. “dah Ga, lo mau ngomong apaan tadi?” lanjut Putra dengan logat Jakarta nya. “mm..gue gaboleh main lagi. Gatau kenapa. Jadi kalian kalo mau pergi bertiga aja ya tanpa gue. Jangan kangen hehe.” Canda ku disertai tawa. Nada bicara ku mencoba santai juga mengikuti logat Putra. Aku tak memberitahunya, aku tak menceritakannya, kusimpan dalam- dalam. Entah lalu aku berpasangka buruk nantinya, tapi segera ku tepis. Semua bungkam dan ingin memulai untuk menanyakan perkataanku sampai pada akhirnya guru datang. Pupus harapan mereka untuk menanyakannya, dan hirauan ku tak di anggapnya ada. Kurasa mereka mengerti namun harus kualihkan perhatian mereka.
Istirahat kali ini kami berkumpul di kantin seperti biasanya. Kuperhatikan ketiga sahabatku ini masing-masing sibuk dengan dunianya. Aku yang berada dibalik minuman ku sedang berpura-pura mengaduk dengan sedotan. Rahma dan Bagus dengan  makanannya, namun tidak dengan Putra. Sedari tadi ia sibuk pada gadget nya dengan rupa yang tak bisa kubaca. Aku mencoba mencairkan suasana dengan mengambil hp nya secara tiba-tiba. “wuih gilaa cewek semua Put, applause “ gerutu ku. “heeh sini-sinii mana hp ku, iya sih cewek semua tapi kan cuman temen” balasnya. Rahma dan Bagus mencoba melihat hp nya namun bel masuk berbunyi dan memenangkan Putra karena hp nya kembali padanya.
Sepulang sekolah mereka bertiga akhirnya pergi. Walau tanpa aku. Sedih memang tapi mau bagaimana lagi. Semakin lama aku semakin terbiasa, walaupun aku tidak bersama mereka ketika nongkrong,makan,ataupun nonton film, namun di sekolah kami tetap selalu bersama sampai suatu saat Putra tiba-tiba melakukan apa yang ku lakukan sebelumnya. Ia tidak lagi ikut ketika kami berempat pergi ke kantin, ia sibuk dengan hp nya, aku mulai berfikir ada apa. Dia menjadi semakin sering diam dan melakukan suatu hal tanpa kami. Entah. Kami bertiga menyadari nya namun tak ada yang berani untuk bicara. Kami membiarkan nya, kami tak mau memaksa kehendak nya...(bersambung)