��

��

Senin, 16 Januari 2017

cerpen "Berempat" bagian 2 (end)



Waktu terus berjalan dan membawa suatu hal, ia tak pernah berhenti ataupun kembali. Tujuannya adalah masa depan. Tak tahu masa depan siapa, masa depan apa, ia hanya terus berjalan. Ia tak pernah berlari ataupun lelah, ia hanya pergi berjalan kedepan. Sesuka hatinya. Tanpa memikirkan sesuatu, tanpa memikirkan seseorang, entah dalam keadaan suka maupun duka. Semakin sering kami bertiga. Ya, melakukan suatu hal dengan Rahma dan Bagus. Rasanya aneh tanpa Putra, karena kami selalu berempat. Ia hanya sibuk dengan dunia baru nya, dan kami tak berani untuk mengganggu nya, mengusik kesenangan nya.
Hari-hari berikutnya berlalu begitu saja tanpa Putra. Karena kami akan semakin terbiasa. Jam istirahat pertama kali ini aku lebih memilih untuk berdiam diri di kelas dan mendengarkan beberapa lagu yang ada di playlist hp melalui headset setelah Rahma dan Bagus pergi ke kantin dan mengajakku sebelumnya. Mataku menyapu seisi ruangan. Kelas menjadi sangat senyap kali ini, kulihat ternyata hanya aku dan Putra yang juga sedang menggunakan headset di ujung ruang kelas. Aku menghela nafas dan tak menghiraukan nya. Ku tundukkan kepala dan menenggelamkan diri pada lagu yang sedang ku putar. Tak lama, seseorang seperti sedang berada di hadapku. Aku terberanjat, lalu ku dongakkan kepala. Ternyata Putra. Aku mencoba akrab dan bersahabat. “ngopo we Put. Get-get-i wae” logat medhok ku keluar. “yo sorry to, Ga. Eh Ga, aku balikan lho sama Lia” katanya. “wah bagus dong udah ga jomblo lagi niye. Jangan deketin cewek-cewek lagi Put kan dah punya Lia sekarang kamu.” Sebisaku memberi advice. “iya bawel” jawabnya. Kita memang tak lagi  berempat. Tapi terkadang Putra masih berbicara padaku untuk sekedar curhat ataupun membicarakan hal-hal yang kurang penting kurasa. Ternyata memang sudah agak lama Putra berpacaran lagi, namun kenapa baru sekarang ia menceritakannya aku pun tak tahu.
Sore ini aku, Rahma dan Bagus menghabiskan waktu bersama. Aku menceritakan tentang kejadian tadi siang di sekolah. Menceritakan bahwa Putra balikan dengan mantannya. Awalnya mereka kaget sama seperti ku namun pada akhirnya mereka menyadari nya karena itu sudah menjadi buah bibir satu sekolah dan Putra juga mempublikasikannya pada social media miliknya. Kami memikirkan suatu hal yang sama. Namun tak ada yang berani mengungkapkannya. Kami biarkan fikiran itu pergi terbawa oleh waktu. Kekosongan waktu dan sunyi nya suasana membuat Rahma mencurahkan isi hatinya pada aku dan Bagus. “eh menurut kalian gimana nih? Aku lagi deket sama Fian loh….” Dan bla bla bla aku juga Bagus mendengarkan.
Rupanya persahabatan kami tak selamanya akan terus seperti ini. Menjadi bertiga, Putra menghilang dari dunia kami, dan ternyata, selang beberapa bulan selanjutnya, Rahma pun jadian dengan Fian. Aku dan Bagus sudah tak lagi kaget karena Rahma sering menceritakannya pada kami. Tentang kisahnya. Tentang dirinya dan Fian.
Suatu saat Rahma mengenalkan Fian pada Bagus dan aku. Saat sedang menghabiskan malam minggu bersama-sama. Semenjak itu kami tak lagi bertiga untuk sekedar hang-out. Karena Rahma sudah punya pacar, ia selalu bersama Fian bahkan saat kita bertiga. Jadi menurutku, kami berempat meskipun dengan sosok yang berbeda. Berbeda dengan Putra, aku hanya mengenal Fian sebagai kekasih hati Rahma. Aku tak menganggapnya lain. Karena Rahma sudah bersama dengan Fian juga, ia tidak lagi menjadi teman perjalananku, melainkan sekarang Bagus. Semenjak status Rahma berubah pula aku merasa dunia nya hanya ada Fian dan kami menjadi semakin tersisihkan. Apa lagi yang bisa ku perbuat. Sekarang aku hanya bisa berkeluh kesah dengan Bagus. Hanya ia yang mampu mengerti ku. Kuharap juga sebaliknya. Aku merasa sekarang aku hanya punya dia, sebagai pendengar cerita-cerita ku.
Waktu membawa ku dan Bagus menjadi sangat dekat. Sahabat yang cukup dekat sekali. Aku, Bagus. Ya, aku dan Bagus. Tak disangka juga kemana pun kita selalu berdua. Makan, jalan-jalan, pergi nonton, ke kantin, pulang sekolah, dan sebaginya. Hanya ada aku dan dia. Tak jarang kami sering diperbincangkan dan banyak yang mengira bahwa kita mempunyai hubungan yang lebih. Namun tidak, tentu aku tidak menganggapnya begitu.
Aku tidak tahu mengapa perasaan buruk sering kali berkeliaran pada fikiranku akhir-akhir ini, pada bayang-bayang semu diatas kepalaku, yang lalu memasuki mimpi-mimpi dalam tidurku. Berulang kali aku menepisnya. Namun selalu muncul lagi, entah itu firasat atau hanyalah prasangka. Yang membuat ku semakin gelisah adalah karena aku tidak bisa menceritakannya pada siapapun. Orang yang kupercayai sekalipun, termasuk Bagus.  Aku benar-benar takut untuk kehilangan.
“Hoyyy!!” Bagus mengagetkanku pagi ini dengan menepuk pundakku. Ia memberikanku coklat. Manisnya perbuatannya. Ia seperti nya berhasil membuat putri kecil ini senang. Ya, ia selalu membuatku bahagia. Walau tidak ada lagi siapapun diantara kami. Mungkin ini menjadi tanggung jawabnya untuk membuat sahabatnya selalu tersenyum dihadapannya. Semakin sering ia membuat ku selalu merasa seperti ratu nya. Terkadang aku merasa geli dengan setiap tingkahnya dan perbuatannya yang seperti itu. Ia memberikan apapun yang aku minta, walaupun aku hanya mengatakannya atau sekedar berkata tidak jelas, ataupun mengigo mengenai sesuatu yang kuanggap indah. Keesokan harinya ia membelikannya untukku. Terkadang aku juga merasa bahwa tidak seharusnya menjadi seperti ini. Menurutku berlebihan dan keterlaluan. Namun dosa apakah aku bila menganggap kebaikan ini tidak nyata?
Semakin sering aku menghabiskan setiap akhir pekan pergi berdua dengan Bagus. Memang tidak wajar tapi kenyataannya itu terjadi dan kami adalah sahabat. Dari dulu dan sampai kapanpun maku tidak tahu mengapa aku berani sekali mengatakan nya. Seperti itu, keyakinanku seakan tak goyah. Entah. Malam ini entah malam ke berapa pula aku menghabiskannya dengan Bagus. Kami sedang makan di sebuah restaurant yang kurasa cukup romantic sekali. Aku bisa mengatakannya  seperti itu karena dekorasinya memang manis sekali, indah, sangat bagus. Dengan lilin-lilin yang berada disetiap meja makan, seperti candle light dinner, ditambah lagi disekeliling kami banyak pasangan yang sedang menghabiskan malam minggunya bersama kekasihnya. Sangat gila untukku, makan ditempat seperti ini. Sepertinya aku dan Bagus salah memasuki restaurant. Mungkin tadinya Bagus tidak mengerti tempat ini sama sekali. Karena bila ia telah tahu sebelumnya, ini adalah salahnya. Karena ia yang mengajakku. Tapi kurasa itu tidak mungkin. Tak ada sesuatu yang kuanggap buruk karena kita hanya menghabiskan waktu untuk makan dan memuji makanan yang disajikan. Lalu ia mengantar ku pulang, seperti biasa.
Hari ini adalah jumat yang paling tidak ingin kulewati. Sebaiknya tadi aku tidak berangkat ke sekolah, sebaiknya aku memanjakan diriku dirumah untuk sesekali. Berpura-pura sakit kurasa bukan menjadi masalah berat agar hari ini segera kulewati dengan singkat. Entah setan apa yang merasuki Bagus siang itu. Aku merasa kecewa, marah, kesal. Semua bercampur menjadi satu. Rasa yang saat ini masih terasa. Aku membencinya. Aku ingin membunuhnya.
Ini adalah jumat ke 4 yang aku lalui sendirian. Tanpa siapapun disampingku lagi, entah sepertinya para sahabatku telah punah satu demi satu. Hilang. Aku tidak lagi ingin bersahabat jika akhirnya seperti ini. Dan benar, aku lebih baik mempunyai banyak teman yang dapat membuatku selalu bahagia walau tanpa mengerti tentangku sepenuhnya. Aku tidak lagi peduli. Bagiku tak ada lagi persahabatan dalam hidupku.
Dua bulan berlalu sejak kejadian itu, hari ini sepertinya memihak padaku. Kelas dan seisinya sangat mudah untuk dirindukan. Aku dan Rahma kembali dekat, namun kurasa hanya sebatas rindu. Aku tetap tak bisa merubah apapun keadaan. Aku tak bisa menganggapnya seperti dulu, karena memang ia telah pergi. Jika pun kembali, pasti tidak akan sama. Kami dekat hanya sebatas seperti teman satu kelas. Aku tetap tak bercerita. Apapun. Karena itu telah menjadi privasi bagi diriku yang tidak lagi kubagi dengannya.
Rasa ini kusimpan sendiri. Perasaan-perasaan menumpuk karena aku membiarkannya ada dan terus bertambah. Setiap kali aku memandangnya, hatiku berdesir takut namun rindu. Setelah itu, aku hanya menepisnya. Saat mata itu menatapku, aku merasakan sakit yang tiada tara. Mungkin baginya itu sebuah ketulusan. Namun tidak denganku . aku memandangya seperti sebuah malapetaka. Pipi yang ingin ku tampar sekeras-kerasnya. Membuatku muak. Matanya nanar, wajahnya seperti seorang yang sedang kehilangan. Ingin hati ini memeluknya, luluh terhadapnya, namun tak bisa kita hanya menuruti hati tanpa menggunakan logika. Segera ku lupakan, dan tak memikirkannya lagi.
Aku harus beristirahat. Semua masalah yang terus menumpuk ini semakin membuat ku penat. Ditambah lagi aku tidak mencurahkannya pada siapapun. Aku yakin bila kubiarkan seperti ini terus, aku bisa gila. Bagaimana aku bisa diam saja bila sahabatku mencintaiku? Ya, Bagus telah menyatakan perasaannya padaku. Meskipun aku telah menolaknya secara halus, dan juga menasihatinya tentang fikir panjang ku, ia tetap bersikeras memilikiku. Biarpun ia memintaku untuk jatuh cinta padanya, itu takkan bisa. Karena memang bukan dia.
Dahulu sebelum semua masalah ini mengalir deras, aku memang pernah berharap ia dan Putra menjadi sahabatku kelak. Dan Tuhan pun mengabulkannya, walau Putra akhirnya pergi menghilang dari dunia ku, atas nama persahabatan ini, karena ternyata kekasihnya tak menyukai kedekatan Putra dengan kami. Ia ingin memiliki Putra seutuhnya. Sebenarnya saat itu aku, Rahma maupun Bagus telah merasakan keanehan yang terjadi pada sikap Putra, yang perlahan lahan lalu, ia pergi tanpa jejak.
Namun aku tak bisa menyalahkan Putra sepenuhnya, sebelum ia pergi pun sebenarnya aku lah yang pertama membuat persahabatan ini berantakan. Aku tidak bisa jujur pada mereka karena aku tidak ingin membuat persahabatan ini rusak. Aku berfikir bahwa bila aku jujur, dengan aku menyatakan alasan sepele ku, yang lalu aku pergi menghilang untuk sementara, mereka akan membuntuti ku untuk satu persatu pergi. Padahal aku yakin mereka pasti dapat mengerti, tapi, ketakutan ini membuatku berkeputusan untuk berbohong. Namun, jujur atau pun tidak, nyatanya persahabatan ini telah rusak. Kurasa memang sudah jalannya, mungkin inilah takdir Tuhan, untuk mengakhiri persahabatan kami.
Yang paling tidak bisa ku maafkan dari semua ini adalah Bagus. Cinta nya padaku membuat aku membencinya. Karena sahabat tak selayaknya begitu. Memang aku tak bisa menyalahkan ia sepenuhnya karena ini sudah hati yang berbicara, namun akan menjadi lebih baik jika ia tidak menyatakan perasaannya. Membiarkan aku tak pernah mengerti dan mengetahui isi hatinya.
Ternyata semua perasaan ku kini benar. Semua menafsirkan suatu arti. Tentang prasangka ku, tentang kata hatiku. Saat ini aku tak lagi bisa mengucapkan sebuah kata untuk Bagas, rasa kecewa ku dihancurkannya. Marah hatiku belum juga padam. Jadi biarlah waktu membawa perasaan itu hilang dengan sendirinya. Perasaan cintanya, perasaan marahku dan segalanya yang membawa datangnya malapetaka ini. Biar kami saling melupakan, tentang kami, karena itu telah menjadi sebuah kesalahan. Biarkan aku tak lagi mengusik kehidupannya. Biarkan aku tak masuk lagi kedalam dunia nya, biar dia dengan dunia nya, dan aku dengan duniaku.