��

��

Jumat, 23 Agustus 2019

Diam kemudian Membunuh


Diam, bukan berarti tak bicara. Bisa saja bicaranya dalam hati, sambil berhati-hati. Mataku tak memejam sedetikpun. Hanya mulutku saja membisu, ditemani keheningan yang tanpa sengaja hadir. Sejenak menggantikan kegaduhan lalu. Namun tidak berhenti disitu, dalam otakku terus berlarian puluhan kalimat yang mengantre untuk keluar dari mulutku. Diamku hanya sebagai penenang bagimu. Dia, yang tak dapat terbantah. Lantas untuk apalagi harus kubuka mulutku jika memang pikirannya sekeras batu. Kemudian aku hanya terdiam, hingga detik ini. Rasa gundah menelusuk dalam hening. Memberi kecemasan bagi diriku yang tak kunjung membuka suara. Bulir peluh bergantian jatuh melalui kening, membentur karpet merah yang tertindih kakiku yang sedang bersila menyentuh bumi. Diam, gundah, cemas, marah bersatu dalam diriku. Aku tertunduk lesu. Menenggelamkan kepalaku dalam kedua telapak tangan  yang berserah pasrah. Denting jam tak berhenti berdetak, mengulur waktu hanya pengalihanmu. Dia yang sedari tadi tak lelah menggerutu kesal. Hadirku berasa sia. Percuma saja. Tak berarti sedikitpun baginya.


Setiap kali kubuka suara, aku ingin didengar. Ketika nadaku semakin tinggi, bukan berarti aku marah, wahai adinda. Bagaimana aku bisa sekeras itu padamu. Melihatmu yang seketika terdiam membisu, tak melawanku seperti biasanya, meruntuhkan pertahananku seketika. Aku tidak pernah merasa menang hingga kali ini. Aku hanya ingin perhatianmu sepenuhnya tertuju padaku. Aku rindu tatap mata berbinarmu tiap kali kuucap kata pendapatku. Waktu berlalu, ambisimu semakin tampak. Tak dapat kubiarkan semangatmu padam. Aku selalu mendengarkanmu, mendukungmu semampuku. Lupakan apa yang ku katakan, tak akan ada artinya lagi bila itu hanya membuatmu terdiam. Mengentikan ambisimu. Namun kumohon, hanya untuk kali ini saja, dengarkan aku. Itu saja inginku.


Aku tak kuat lagi, terus saja diam dan membisu. Membungkam suaraku. Mengalah untukmu menang. Aku masih tak mengerti maksutnya. Kalimatmu tak beralasan. Sedangkan yang kubutuhkan adalah alasan yang kuat. Dimana dirimu yang dulu? Aku se-nyata itu. Tak ingatkah kamu? Batinku terus bicara tanpa lelahnya ia. Kini kamu turut diam membisu, membungkam suara. Entah apa maumu, aku lelah ingin mengakhirinya.


Bicaralah, kini aku menuntutmu bicara. Bantah aku seperti biasamu. Kamu harusnya sadar adinda. Ketika ku tengah berhenti berucap,  kini untukmu harusnya membuka suara indahmu yang sangat kurindukan. Kulihat emosimu meluap tanpa katapun keluar dari mulutmu. Kini terbukalah, katakan. segeralah kamu bicara. Semakin kamu diam, semakin aku tak mengenalmu saat ini.

Jumat, 09 Agustus 2019

Rindu Purnama


Rindu kali ini takkan berpulang kepada pemiliknya. Jangan tanya mengapa. Engkau pasti paham perihal meninggalkan dan ditinggalkan. Telah kesekian kali purnama kunikmati sendiri, kulahap habis dikala malam. Namun kali ini tanpa suaramu, yang mendebarkan jantungku ketika kabarku disini membuatmu penasaran, menjadi tanya yang tak pernah terlewatkan. Dapat kupastikan pada matamu, kau ingin aku baik-baik saja. Menunggu dan terus menunggumu. Sebab ratusan kilo terbentang diantara kamu dan aku. Namun kala itu, rasanya purnama tak pernah segelap ini. Pekat dan tanpa tawa itu, tawamu. Hanya ada bayangmu menghantui, berlarian dipikiranku. Aku rindu, tentu. Ragamu hilang, namun tidak dengan bayangmu. Terlebih pada senyummu. Rasanya kacau. Tak ingin ku ingat, tapi selalu teringat. Purnama tanpa suaramu, sekali lagi. Sepertinya kau telah menjelma menjadi candu. Mirisnya, aku tak bisa lupa. Malampun tak pernah se-mengerikan ini  tanpamu. Kupikir aku akan baik-baik saja ketika kamu pergi. Nyatanya? Aku takut, kamu dimana? Tidakkah kau merindu? Mungkin tidak.  Entah apa yang aku lawan kini. Kamu, pikiranku, atau perasaanku? Ah, Sudahlah. Menikmati purnama tanpamu memang menimbulkan ratusan tanya tanpa jawab. Menghasilkan sajak-sajak pilu dan ribuan diksi kias perihal rindu. Atau aku keliru, mungkin hanya belum terbiasa, tanpamu. Ah, Kenapa memori kini terasa menyesakkan, memori tentangmu, terlebih malam ini. Purnama sedang sendu-sendunya kunikmati tanpa hadirmu. Mungkin ia turut berduka, atau aku saja yang berandai-andai. Lagi-lagi aku merindu. Selalu seperti ini, dikala purnama sedang bersolek menggoda sang malam. Aku iri menyaksikannya sendirian. Namun tak apa, mungkin memang ragamu hilang, tapi namamu kini abadi dalam sajak-sajak yang kutulis.