Diam, bukan berarti tak bicara. Bisa saja bicaranya dalam hati, sambil
berhati-hati. Mataku tak memejam sedetikpun. Hanya mulutku saja membisu,
ditemani keheningan yang tanpa sengaja hadir. Sejenak menggantikan kegaduhan
lalu. Namun tidak berhenti disitu, dalam otakku terus berlarian puluhan kalimat
yang mengantre untuk keluar dari mulutku. Diamku hanya sebagai penenang bagimu.
Dia, yang tak dapat terbantah. Lantas untuk apalagi harus kubuka mulutku jika
memang pikirannya sekeras batu. Kemudian aku hanya terdiam, hingga detik ini.
Rasa gundah menelusuk dalam hening. Memberi kecemasan bagi diriku yang tak
kunjung membuka suara. Bulir peluh bergantian jatuh melalui kening, membentur
karpet merah yang tertindih kakiku yang sedang bersila menyentuh bumi. Diam, gundah,
cemas, marah bersatu dalam diriku. Aku tertunduk lesu. Menenggelamkan kepalaku
dalam kedua telapak tangan yang berserah
pasrah. Denting jam tak berhenti berdetak, mengulur waktu hanya pengalihanmu.
Dia yang sedari tadi tak lelah menggerutu kesal. Hadirku berasa sia. Percuma
saja. Tak berarti sedikitpun baginya.
Setiap kali kubuka suara, aku ingin didengar. Ketika nadaku semakin tinggi,
bukan berarti aku marah, wahai adinda. Bagaimana aku bisa sekeras itu padamu.
Melihatmu yang seketika terdiam membisu, tak melawanku seperti biasanya,
meruntuhkan pertahananku seketika. Aku tidak pernah merasa menang hingga kali
ini. Aku hanya ingin perhatianmu sepenuhnya tertuju padaku. Aku rindu tatap
mata berbinarmu tiap kali kuucap kata pendapatku. Waktu berlalu, ambisimu
semakin tampak. Tak dapat kubiarkan semangatmu padam. Aku selalu
mendengarkanmu, mendukungmu semampuku. Lupakan apa yang ku katakan, tak akan
ada artinya lagi bila itu hanya membuatmu terdiam. Mengentikan ambisimu. Namun
kumohon, hanya untuk kali ini saja, dengarkan aku. Itu saja inginku.
Aku tak kuat lagi, terus saja diam dan membisu. Membungkam suaraku. Mengalah untukmu menang. Aku masih tak mengerti maksutnya. Kalimatmu tak beralasan. Sedangkan yang kubutuhkan adalah alasan yang kuat. Dimana dirimu yang dulu? Aku se-nyata itu. Tak ingatkah kamu? Batinku terus bicara tanpa lelahnya ia. Kini kamu turut diam membisu, membungkam suara. Entah apa maumu, aku lelah ingin mengakhirinya.
Bicaralah, kini aku menuntutmu bicara. Bantah aku seperti biasamu. Kamu harusnya sadar adinda. Ketika
ku tengah berhenti berucap, kini untukmu
harusnya membuka suara indahmu yang sangat kurindukan. Kulihat emosimu meluap
tanpa katapun keluar dari mulutmu. Kini terbukalah, katakan. segeralah kamu
bicara. Semakin kamu diam, semakin aku tak mengenalmu saat ini.