��

��

Sabtu, 21 Februari 2015

puisi cinta?



Cinta
Hanya tentang siapa yang bertahan
Dalam terjangan badai
Dalam bisikan setan yang membuat kita putus asa

Cinta
Hanya tentang kesetiaan
Yang diuji
Tentang kepercayaan
Yang lama kelamaan memudar

Cinta
Hanya tentang jarak
Yang membatasi ruang diri kita
Yang membuat kita seakan sejauh dasar samudra

Cinta
Hanya tentang Yang membuat luka
turunnya air mata
Juga lubang dalam hati

Cinta
Mengenai aku dan engkau
Yang mencinta
Dalam nyata
Namun kini seakan menjadi semu

Cinta
Tentang kebahagiaan ketika mata kita bertemu
Tentang hidup yang seakan jauh lebih panjang
Tentang berkumpulnya mimpi-mimpi

Cinta
Adalah perjuangan bagi setiap pemiliknya
Dan Hembusan nafas bagi setiap yang memperjuangkan

Jumat, 13 Februari 2015

EDISI CERPEN #2


AKU DAN MENDUNG YANG KAMU KECEWAKAN

            Siang tenggelam, karena mendung saat ini datang. Entah mengapa aku sangat menyukai mendung, tak ada panas, tak ada hujan, hanya ada sejuk, dan kamu. Kamu yang saat ini sedang berdiri di persimpangan koridor sekolah. Aku sibuk menghirup hawa mendung, dan kamu sibuk tertawa dalam peradaban, dengan mata menyipit yang melengkungkan pelangi. Aku suka. Termenung aku dalam memperhatikanmu. “hai, kok belum pulang?” bayang mu dalam halusinasi lantas menjadi hidup. Kamu yang sontak duduk mendampingi aku dan mendung membuka suara. Aku tak bisa menyangkal, aku melambung tinggi ketika kamu mengucap Tanya untukku. Aku kesusahan untuk biasa saja di hadapanmu dan menyembunyikan senyumku yang mulai mengembang. Perlu waktu lama untukku menyerap kata-kata mu yang sekarang tersangkut pada tenggorokanku. Aku tercekat. Jemari tanganmu menyentuh bahu ku, membuat aku kembali tersadar bahwa ada kamu dalam nyataku saat ini. “hei, are you okay?” logat fasih nya mengembalikan konsentrasiku yang buyar. “yes I’m.” dia menggelengkan kepalanya diteruskan dengan pertanyaan “kenapa belum pulang?” datarnya. “aku masih menikmati mendung,Dika.”  Nama yang membuat hatiku berdegup kencang ketika namanya disebut dan terdengar olehku. “oh, kamu aneh. Biasanya orang itu suka hujan, aku kira kamu sedang menunggu hujan.” Tanggapnya. “berbeda denganku.” Jawabku singkat dengan senyuman setipis mungkin. Aku takjub saat ia kemudian berpangku dagu ikut menghayati mendung. Seuntai kalimat pun muncul dari bibirnya yang manis. “ternyata memang enak, aku mulai tahu kenapa kamu suka mendung. Hawanya sejuk, pas, karna nggak panas dan belum turun hujan. Kayaknya aku mulai suka juga.” Diikuti pandangan matanya yang tak lepas dari mataku, juga simpul senyuman yang menghiasi bibirnya. “ya, begitulah.” Pandanganku yang lalu berpaling, ke langit. Kami diam sejenak, membiarkan hawa-hawa sejuk menusuk tubuh kami, dan diam membawa jalannya sang waktu. “nggak pulang?” tanyaku menghidupkan ketenangan dan membuyarkan rangkaian kata dalam benak kami yang berlalu lalang. “oh ya, aku pulang.” Jawabnya dingin lalu meninggalkan begitu saja. Aku dan mendung. Entah, rasa sedih itu muncul. Dia sama sekali sosok yang tidak bisa ditebak. Terkadang membuatku melambung dan kadang menghempaskan secara kejut,seperti ini. sosoknya telah menghilang dari lingkar mataku. Punggung yang selalu ku tahui itu juga telah termakan oleh waktu yang berlalu. Aku masih terdiam membisu bersama mendung. Pikiranku memutar kepada beberapa waktu berharga lalu tanpa kejadian pahit yang menyinggung tulang rusukku.
           


Matahari masih bersembunyi dibalik awan, bulan tentu belum memunculkan sinar. Masih mendung dan hawa sejuk yang menghiasi. Hanya ada aku dan mendung. Tanpa kamu, kamu yang hanya beberapa menit lalu mengisi kekosongan sang mendung. Aku bangkit dari duduk ku. Perlahan meninggalkan hawa mendung. Entah mengapa bayangnya melintas dalam pikiranku, kemudian mataku. Tunggu! Ternyata memang bukan halusinasiku saja. Aku terperanjat, mataku terbelalak. Rupanya ia belum benar-benar pulang. Dadaku sesak memandangnya, bukan senyum yang kulengkungan kini, bukan juga sapaan yang akan terucap. Hanya tetesan hujan dari mataku yang akan turun sebentar lagi. Aku melihat wajahnya menampakkan sinar kebahagiaan, tatapnya lurus pada perempuan dihadapnya. Tangannya menyatu dengan tangan perempuan itu. Aku berusaha menahan air mata yang akan jatuh titik demi titik. Tanganku membungkam mulut, aku berbalik arah dan berjalan setenang mungkin tanpa harus berlari. Air mataku mulai turun sekenanya. Dia memang sulit ditebak, apalagi untuk hatiku. Entah, aku bersembunyi, ditempat yang orang lain tak mungkin menghampiri. Air mataku tumpah sejadi-jadinya. Hati ini hancur, bayangnya dengan perempuan itu masih terlintas dalam pikiran. Mendung kini yang mengikutiku. Seraya ia melihatku menangis dan bersedih, mendung mendampingiku. Kini bukan lagi antara kamu dan mendung. Tapi hanya ada aku dan mendung, yang menggelap.

Selasa, 03 Februari 2015

Lelah


Senja memamerkan keindahannya petang ini, mensolekkan tubuhnya bak 7 bidadari dan selendang warnanya. Syukurlah dapat mencuri kelelahanku dan beban yang ku pikul hari ini. cukup banyak dan merepotkan. Merewelkan hati dan menjeritkan tangis.
Alunan kenangan menghiasi langit, semu sekali seperti mimpi di musim semi, yang membangunkanku dan menahanku untuk lari dari kenyataan.
            Air mata ini tak lagi mau jatuh, mungkin ia telah jenuh untuk terus membasahi pipi kala matahari menyembunyikan dirinya.
            Rindu ini tak lagi bernyawa, mungkin ia telah rapuh untuk selalu menunggu tujuannnya yang tak akan datang menemuinya.
            Cinta ini mungkin telah menjadi abu, mungkin karena keegoisan para pemiliknya yang menyulutkan api dan membakarnya.
Senja menghilang, petang menggelap, para aurora meredupkan cahayanya, dan aku terbang menuju mimpi yang selalu membiarkan dirinya menjadi semu.

Tanpa sadar aku terus mencintaimu meski lelah menelanku, dan hati yang tak lagi utuh.

Senin, 02 Februari 2015

Tenang



Angin menghempaskan tubuhnya untukku, padaku. Aku yang sedang terduduk pada punggung milyaran pasir putih ini. tertunduk lesu, sesekali mendongakkan kepala untuk menonton deburan ombak yang terus memecah batu karang. Sesekali menggema. Memejamkan mata dan dibangunkan oleh sentuhan angin pada telingaku. Geli, membuatku ingin tersenyum, tapi tak bisa. Ketenanganku berlanjut pada matahari yang meninggi tertutup awan-awan bak istana langit. Birunya langit yang sama dengan air di pantai itu membuatku hanyut dalam lamunan, dan membuatku bersandar pada lembutnya pasir pantai. Sesekali air laut menjilat jemari kaki, membuatku tersentak dan menyadari bahwa air laut meninggi. Genitnya, semakin mendekatiku. Ku benahi posisi dudukku, lalu terlentang kembali. Sekelompok burung membentuk formasi panah dan sekejap hilang dari pandangan. Mungkin aku melupakan formasi hati-nya, yang jeritannya memekakkan perasaan(re:jeritan hati). Namun aku melewatkannya sesaat. Pohon-pohon bakau yang membentengiku dibelakang menggoyangkan dahannya. Kupikir, kuat kali angin yang menghembusnya. Sedetik, air laut kembali tenang, setenang pikiranku saat ini. perlahan-lahan tidak memekikkan telinga atas sentuhan kasarnya pada batu karang. Aku tak melihat seorangpun disini kecuali diriku. Para nelayan dengan perahu dan jala nya pun seperti kasat mata. Sepi, bak pantai yang mati.
Pantai dan segala isinya seperti ini yang sangat istimewa, membuatku setenang-tenangnya tenang. bak bernyawa sendiri dalam bumi. Meskipun begitu, pantai ini tak dapat menarik bibirku simetris dan melengkungkan senyuman. Aku yang tak peka? Atau aku yang terlalu lelah untuk melepaskan senyum? Lantas siapa yang dapat melihat seulas senyum muncul dari bibir ini? rindukah aku terhadap senyuman yang terlihat jelas? Kupikir iya. Sekejap memoriku memutar kenangan, pada sosok yang mengejutkan ku, di sampingku, yang kini menatapku, membebaskan senyumku dari penjara kecewa, dan dengan separuh keikhlasan, kubagi padanya.

Kini aku bukan satu-satunya yang bernyawa.



(p.s : Aku merindumu, pantai)