Pengecut

Pengecut

Panggil aku dengan sebutan itu

Waktu berlalu

Tapi aku masih saja diam

Jangankan menyapamu

Menatapmu saja aku tak mampu

Selalu begitu 

Pengecut

Aku, memang

Lari dari kenyataan

Mungkin juga dari takdir

Atau bahkan ini takdir

Untuk tidak menemukanmu padaku

Menghadapimu

Pengecut

Itu aku

Masih saja sebodoh ini

Menyakiti diri sendiri

Atas rindu yang menghujam

Jantung juga isi kepalaku

Membiarkannya

Pengecut

Katakan kepadaku

Yang tidak sedikitpun berani

Mengungkapkannya padamu 

Maafkan aku

Aku selalu bersembunyi

Dibalik waktu

Sajak-sajakku

Bahkan tubuhmu

Maaf

Aku menyesalinya

Aku menyiayiakannya

Lagi

Perduli

Lucunya 

ketika kenangan terlintas begitu saja dalam pikiran
Masa dimana tawa dan senyuman larut dalam bahagia
Aku, juga denganmu

Namun saat ini, kamu tak lagi ada dalam keseharian 

Hidup yang kujalani kini terasa lain

Tak lagi ada kamu di dalamnya

Terpisahkan jarak

Terpisahkan waktu

Yang bagimu penting kini tak lagi ada aku

Keluh kesahmu bukan lagi kau curahkan padaku

Senyum bahagiamu tak lagi kumengerti alasannya

Kebersamaan kini rasanya hambar

Hanya ada masing-masing dari kita

Yang berdiri sendiri

Berjalan lurus kedepan

Menutup pintu kenangan dan masa lalu
Melangkah menjauh dan pergi

Tapi aku tetap disini
Tanpa resah

Berpegang tangan dalam doa
menyerukan namamu
Disetiap sujud
Sepertiga malamku

Yang sedang memikirkanmu,

Seorang yang entah 
masih atau kau lupa dalam ingatan.

Sepotong Kisah

Langit jogja bersenandung keras

Pada rintik hujan yang dijatuhkannya

Di malam kepulanganku

Kukira ia mendengkur tanpa henti

Kukira ia menangis tanpa sebab

Atau aku saja yang tak tahu apa-apa

Langit itu kini menatapku lekat

Dengan awan gelap yang ia pasangkan

Layaknya mata yang sedang melihat

Aku hanya tersungkur rapat

Diam membisu berpura-pura

Terlelap bagai terserang kantuk

Mungkin memang langit mendengkur

Atau menangis

Bisa juga bersenandung keras

Kataku

Yang penting jangan digunjingkan

Karena tatapannya membunuh

Menyambar bagai petir