Bagian dua
Keliru
Matahari siang ini terasa seperti
pemantik api yang baru saja dinyalakan. Tak ada kata lain yang lebih pantas disematkan
selain panas. Anginpun entah kemana perginya, terlebih lagi hujan. Seakan
hilang ditelan bumi. Namun teriknya siang ini berhasil membawakan awan-awan cerah
nan tenang bersemayam indah dilangit. Bak pemandangan elok yang tak sanggup
dilewatkan sedetikpun dengan mata telanjang, aku masih memandanginya dengan wajah mendangak keatas serta peluh yang kini bercucuran di
dahi. Entah setan apa yang merasukiku siang itu, teriknya pun tak membuatku melewatkannya.
Hingga sekian detik berlalu, pemandangan itu kini tergantikan oleh mendung
yang seketika datang bergerombol. Bersamaan dengan angin yang mengikis hawa
panas siang itu, yang kemudian menerpaku, menerpa helaian rambutku.
Kejadian kala itu seakan memecah
belah perasaaanku, mempermainkanku. “ah” benakku melesatkan kata selagi aku memutar
kepala ke segala arah dengan rileks.
Tak butuh waktu lama hingga pada
akhirnya mataku terpejam, memutar kenangan. Kenangan yang tak ingin ku ingat,
terlintas begitu saja dikepala. Jangankan kamu, aku bahkan tak paham lagi dengan
diri sendiri. Perasaan tenangku musnah begitu saja, terganti dengan rasa kesal dan sesal
atas kepergianmu saat itu, kepergian diatas kakimu sendiri.
Aku yakin kamu pun juga menimbun
pertanyaan ini dalam hatimu, ‘lantas mengapa kamu yang menyesal?’ Bila boleh kujawab,
aku menyesal atas ratusan kenangan bersamamu yang kini hanya bisa kunikmati
sendiri dengan rasa perih, dengan luka atas kepergianmu, dengan kejujuranmu yang
berhasil meruntuhkan perasaan yang kuyakini sempat ada dari dirimu. Sesal ini menjalar, menyulut amarah yang tersimpan rapat setelah kepergianmu, seperti bom waktu yang
dapat meledak kapan saja.
Kukira aku sudah ikhlas, namun ketika
memori memutar kenangan itu, rasa sakitnya tak kunjung hilang. Masih terasa
begitu nyata, menghancurkanku. Perihal ikhlas, nyatanya aku keliru. Ikhlas yang kutahu tak selayaknya
begini. Memang seharusnya aku sadar, waktu tidak mungkin membawamu pergi secepat
itu hilang dari perasaanku. Ditemani kata ‘kenapa?’ yang terus berlarian dikepala tanpa lelah
menuntut jawab, kupejamkan mataku lebih lama meminta tenang.
Akankah menurutmu Tuhan turut andil
atas rasa ini setelah perasaan ikhlas yang kemarin disematkan-Nya padaku?