Denting dawai dawai itu berhasil menyayat hatiku
Tak satupun nenimbulkan senyum
Air mata yang terus bercucuran membasahi pipi
Kini menjadi lautan tangis
Luka
Suara itu
Tak lagi kudengar indah
Semuanya menyakitkan
Tanpa melodi lain
Ia sudah sangat menyakitkan
Dawai biola itu
Meluluhlantahkan rasa percayaku
Meruntuhkan hati menjadi keping
Aku terjatuh
Perih
Langit menjawab
Akan semua tanda tanyaku
Bahwa aku
Aku merindukanmu
Sangat dan terus
Aku ingin waktu kembali
Membawa dirimu yang dulu
Hanya itu saja
Cukup untukku
Tuhan,bisikkan rindu nya.
��
Jumat, 10 Juli 2015
Jumat, 03 April 2015
bertahan
Kamu membuatku berhenti menulis
Kamu membuatku kembali menumpahkan tangis
Tangis yang kujanjikan untuk tidak membasahi pipiku lagi
Kamu membuatku ingkar
Segala rasa sakit yang merasuki rongga batinku, karenamu.
Menusuk nusuk hati yang lemah ini
Sempat aku menyerah pada keadaan
Sempat aku ingin pergi dan tak kembali
Meninggalkanmu
Melepasmu
Namun entah apa yang membuatku kembali lagi
Padamu, untukmu.
Lagi
Aku terhenti padamu
Cinta ini
Membuatku dewasa.
Atau bodoh?
Dewasa karena
memaafkan
Bodoh karena selalu memaafkan kesalahan yang terus kau ulang
Sabtu, 21 Maret 2015
jawabku,mungkin.
Cinta ini
menjelma menjadi rasa yang sangat sulit untuk digantikan.
Yang terus
berlarian dalam pikiranku hanyalah kamu.
Dan semua
tentang dirimu.
Lalu aku
harus bagaimana ketika kejelasan berada diambang kehidupan
Aku
menyebutnya sayang, dan dia memanggilnya cinta.
Keraguan-keraguan
ini datang menyelimutiku
Yang awalnya
sengaja tak kulihat
namun
sekarang ini
Apa yang
harus aku tuturkan padamu
Kata apa
yang akan membuatmu mengerti tentang keresahan dan kegundahan ku ini?
Apakah aku
akan mengatakannya?
Meluapkan
semua kata hati yang tersimpan berantakan ini?
Jawabku..
Mungkin?
Sabtu, 21 Februari 2015
puisi cinta?
Cinta
Hanya tentang siapa yang bertahan
Dalam terjangan badai
Dalam bisikan setan yang membuat kita putus asa
Cinta
Hanya tentang kesetiaan
Yang diuji
Tentang kepercayaan
Yang lama kelamaan memudar
Cinta
Hanya tentang jarak
Yang membatasi ruang diri kita
Yang membuat kita seakan sejauh dasar samudra
Cinta
Hanya tentang Yang membuat luka
turunnya air mata
Juga lubang dalam hati
Cinta
Mengenai aku dan engkau
Yang mencinta
Dalam nyata
Namun kini seakan menjadi semu
Cinta
Tentang kebahagiaan ketika mata kita bertemu
Tentang hidup yang seakan jauh lebih panjang
Tentang berkumpulnya mimpi-mimpi
Cinta
Adalah perjuangan bagi setiap pemiliknya
Dan Hembusan nafas bagi setiap yang memperjuangkan
Jumat, 13 Februari 2015
EDISI CERPEN #2
AKU DAN MENDUNG YANG KAMU KECEWAKAN
Siang
tenggelam, karena mendung saat ini datang. Entah mengapa aku sangat menyukai
mendung, tak ada panas, tak ada hujan, hanya ada sejuk, dan kamu. Kamu yang
saat ini sedang berdiri di persimpangan koridor sekolah. Aku sibuk menghirup
hawa mendung, dan kamu sibuk tertawa dalam peradaban, dengan mata menyipit yang
melengkungkan pelangi. Aku suka. Termenung aku dalam memperhatikanmu. “hai, kok
belum pulang?” bayang mu dalam halusinasi lantas menjadi hidup. Kamu yang sontak
duduk mendampingi aku dan mendung membuka suara. Aku tak bisa menyangkal, aku
melambung tinggi ketika kamu mengucap Tanya untukku. Aku kesusahan untuk biasa
saja di hadapanmu dan menyembunyikan senyumku yang mulai mengembang. Perlu
waktu lama untukku menyerap kata-kata mu yang sekarang tersangkut pada
tenggorokanku. Aku tercekat. Jemari tanganmu menyentuh bahu ku, membuat aku
kembali tersadar bahwa ada kamu dalam nyataku saat ini. “hei, are you okay?”
logat fasih nya mengembalikan konsentrasiku yang buyar. “yes I’m.” dia
menggelengkan kepalanya diteruskan dengan pertanyaan “kenapa belum pulang?”
datarnya. “aku masih menikmati mendung,Dika.”
Nama yang membuat hatiku berdegup kencang ketika namanya disebut dan
terdengar olehku. “oh, kamu aneh. Biasanya orang itu suka hujan, aku kira kamu
sedang menunggu hujan.” Tanggapnya. “berbeda denganku.” Jawabku singkat dengan
senyuman setipis mungkin. Aku takjub saat ia kemudian berpangku dagu ikut
menghayati mendung. Seuntai kalimat pun muncul dari bibirnya yang manis.
“ternyata memang enak, aku mulai tahu kenapa kamu suka mendung. Hawanya sejuk,
pas, karna nggak panas dan belum turun hujan. Kayaknya aku mulai suka juga.”
Diikuti pandangan matanya yang tak lepas dari mataku, juga simpul senyuman yang
menghiasi bibirnya. “ya, begitulah.” Pandanganku yang lalu berpaling, ke
langit. Kami diam sejenak, membiarkan hawa-hawa sejuk menusuk tubuh kami, dan
diam membawa jalannya sang waktu. “nggak pulang?” tanyaku menghidupkan
ketenangan dan membuyarkan rangkaian kata dalam benak kami yang berlalu lalang.
“oh ya, aku pulang.” Jawabnya dingin lalu meninggalkan begitu saja. Aku dan
mendung. Entah, rasa sedih itu muncul. Dia sama sekali sosok yang tidak bisa
ditebak. Terkadang membuatku melambung dan kadang menghempaskan secara kejut,seperti
ini. sosoknya telah menghilang dari lingkar mataku. Punggung yang selalu ku
tahui itu juga telah termakan oleh waktu yang berlalu. Aku masih terdiam
membisu bersama mendung. Pikiranku memutar kepada beberapa waktu berharga lalu
tanpa kejadian pahit yang menyinggung tulang rusukku.
Matahari masih bersembunyi dibalik
awan, bulan tentu belum memunculkan sinar. Masih mendung dan hawa sejuk yang
menghiasi. Hanya ada aku dan mendung. Tanpa kamu, kamu yang hanya beberapa
menit lalu mengisi kekosongan sang mendung. Aku bangkit dari duduk ku. Perlahan
meninggalkan hawa mendung. Entah mengapa bayangnya melintas dalam pikiranku,
kemudian mataku. Tunggu! Ternyata memang bukan halusinasiku saja. Aku
terperanjat, mataku terbelalak. Rupanya ia belum benar-benar pulang. Dadaku
sesak memandangnya, bukan senyum yang kulengkungan kini, bukan juga sapaan yang
akan terucap. Hanya tetesan hujan dari mataku yang akan turun sebentar lagi.
Aku melihat wajahnya menampakkan sinar kebahagiaan, tatapnya lurus pada perempuan
dihadapnya. Tangannya menyatu dengan tangan perempuan itu. Aku berusaha menahan
air mata yang akan jatuh titik demi titik. Tanganku membungkam mulut, aku
berbalik arah dan berjalan setenang mungkin tanpa harus berlari. Air mataku
mulai turun sekenanya. Dia memang sulit ditebak, apalagi untuk hatiku. Entah,
aku bersembunyi, ditempat yang orang lain tak mungkin menghampiri. Air mataku
tumpah sejadi-jadinya. Hati ini hancur, bayangnya dengan perempuan itu masih
terlintas dalam pikiran. Mendung kini yang mengikutiku. Seraya ia melihatku
menangis dan bersedih, mendung mendampingiku. Kini bukan lagi antara kamu dan
mendung. Tapi hanya ada aku dan mendung, yang menggelap.
Selasa, 03 Februari 2015
Lelah
Senja memamerkan keindahannya petang
ini, mensolekkan tubuhnya bak 7 bidadari dan selendang warnanya. Syukurlah
dapat mencuri kelelahanku dan beban yang ku pikul hari ini. cukup banyak dan
merepotkan. Merewelkan hati dan menjeritkan tangis.
Alunan kenangan menghiasi langit,
semu sekali seperti mimpi di musim semi, yang membangunkanku dan menahanku
untuk lari dari kenyataan.
Air
mata ini tak lagi mau jatuh, mungkin ia telah jenuh untuk terus membasahi pipi
kala matahari menyembunyikan dirinya.
Rindu
ini tak lagi bernyawa, mungkin ia telah rapuh untuk selalu menunggu tujuannnya
yang tak akan datang menemuinya.
Cinta
ini mungkin telah menjadi abu, mungkin karena keegoisan para pemiliknya yang menyulutkan api dan membakarnya.
Senja menghilang, petang menggelap, para
aurora meredupkan cahayanya, dan aku terbang menuju mimpi yang selalu
membiarkan dirinya menjadi semu.
Tanpa sadar aku terus
mencintaimu meski lelah menelanku, dan hati yang tak lagi utuh.
Senin, 02 Februari 2015
Tenang
Angin menghempaskan tubuhnya untukku, padaku. Aku yang sedang
terduduk pada punggung milyaran pasir putih ini. tertunduk lesu, sesekali
mendongakkan kepala untuk menonton deburan ombak yang terus memecah batu
karang. Sesekali menggema. Memejamkan mata dan dibangunkan oleh sentuhan angin
pada telingaku. Geli, membuatku ingin tersenyum, tapi tak bisa. Ketenanganku
berlanjut pada matahari yang meninggi tertutup awan-awan bak istana langit.
Birunya langit yang sama dengan air di pantai itu membuatku hanyut dalam
lamunan, dan membuatku bersandar pada lembutnya pasir pantai. Sesekali air laut
menjilat jemari kaki, membuatku tersentak dan menyadari bahwa air laut
meninggi. Genitnya, semakin mendekatiku. Ku benahi posisi dudukku, lalu
terlentang kembali. Sekelompok burung membentuk formasi panah dan sekejap
hilang dari pandangan. Mungkin aku melupakan formasi hati-nya, yang jeritannya
memekakkan perasaan(re:jeritan hati). Namun aku melewatkannya sesaat.
Pohon-pohon bakau yang membentengiku dibelakang menggoyangkan dahannya. Kupikir,
kuat kali angin yang menghembusnya. Sedetik, air laut kembali tenang, setenang
pikiranku saat ini. perlahan-lahan tidak memekikkan telinga atas sentuhan
kasarnya pada batu karang. Aku tak melihat seorangpun disini kecuali diriku.
Para nelayan dengan perahu dan jala nya pun seperti kasat mata. Sepi, bak
pantai yang mati.
Pantai dan segala isinya seperti ini yang sangat istimewa,
membuatku setenang-tenangnya tenang. bak bernyawa sendiri dalam bumi. Meskipun
begitu, pantai ini tak dapat menarik bibirku simetris dan melengkungkan
senyuman. Aku yang tak peka? Atau aku yang terlalu lelah untuk melepaskan
senyum? Lantas siapa yang dapat melihat seulas senyum muncul dari bibir ini?
rindukah aku terhadap senyuman yang terlihat jelas? Kupikir iya. Sekejap
memoriku memutar kenangan, pada sosok yang mengejutkan ku, di sampingku, yang
kini menatapku, membebaskan senyumku dari penjara kecewa, dan dengan separuh
keikhlasan, kubagi padanya.
Kini aku bukan satu-satunya yang bernyawa.
(p.s : Aku merindumu, pantai)
Kamis, 29 Januari 2015
Apa Arti Kita?
Kita ini satu
Namun kita mencoba melepaskan diri
Melepaskan diri dari badai besar yang akan menenggelamkan kita
Haruskah kita saling melepaskan diri untuk menghindari terjangan badai didepan kita?
Mengapa tak memberi kesempatan untuk kita hentikan bersama?
Terlalu takutkah kamu?
Atau aku yang terlalu putus asa?
Dan kita menyerah pada satu waktu yang sama
Mencoba melepaskan diri satu sama lain,lagi
pada akhirnya
Aku pergi
Kamu pergi
Dan yang terjadi adalah
Bahwa kita tak mampu, menampar bayang gelap ilusi
Meski itu adalah semu
Kita memendam rasa karena kita terlalu takut untuk mencoba
Kita melepaskan diri, dan cinta yang telah kita bangun.
Kita mampu bangun,tapi kita tak mampu jatuh.
Ketika kita jatuh
Kita rapuh
Sehingga tak dapat berdiri lagi
Faktanya Kita hanyalah individu aku dan kamu layaknya orang asing yang dititipkan cinta oranglain.
Namun kita mencoba melepaskan diri
Melepaskan diri dari badai besar yang akan menenggelamkan kita
Haruskah kita saling melepaskan diri untuk menghindari terjangan badai didepan kita?
Mengapa tak memberi kesempatan untuk kita hentikan bersama?
Terlalu takutkah kamu?
Atau aku yang terlalu putus asa?
Dan kita menyerah pada satu waktu yang sama
Mencoba melepaskan diri satu sama lain,lagi
pada akhirnya
Aku pergi
Kamu pergi
Dan yang terjadi adalah
Bahwa kita tak mampu, menampar bayang gelap ilusi
Meski itu adalah semu
Kita memendam rasa karena kita terlalu takut untuk mencoba
Kita melepaskan diri, dan cinta yang telah kita bangun.
Kita mampu bangun,tapi kita tak mampu jatuh.
Ketika kita jatuh
Kita rapuh
Sehingga tak dapat berdiri lagi
Faktanya Kita hanyalah individu aku dan kamu layaknya orang asing yang dititipkan cinta oranglain.
Selasa, 20 Januari 2015
Aku takut,kamu pergi.
Aku takut
Aku menakuti segala mimpi buruk yang terus berprasangka pada pikiranku
Aku menakuti jarak,
yang kini semakin terlihat jelas diantara kita
Aku menakuti senyummu itu, hangat tawamu, hingga perhatianmu,
yang kini memudar dan tak berbekas
Hal yang paling kutakuti adalah
kepergianmu,
Yang membawa segala kebahagiaan diriku
Dekapanmu,
Yang tak lagi memelukku
Genggaman tanganmu,
Yang kini tak lagi menggenggamku erat
Tidakkah kamu menyadari itu?
Dan nanti, ketika kamu pergi.
Entah apa yang dapat kulakukan,
Untuk menahanmu agar selalu disisiku
Selain menangisi setiap detik yang terlewat tanpa dirimu
Kamu pergi
Dan aku pikir kamu takkan kembali
Kamu pergi
Menyisakan kenangan indah yang menyesakkan batin
Kamu,pergi.
Aku menakuti segala mimpi buruk yang terus berprasangka pada pikiranku
Aku menakuti jarak,
yang kini semakin terlihat jelas diantara kita
Aku menakuti senyummu itu, hangat tawamu, hingga perhatianmu,
yang kini memudar dan tak berbekas
Hal yang paling kutakuti adalah
kepergianmu,
Yang membawa segala kebahagiaan diriku
Dekapanmu,
Yang tak lagi memelukku
Genggaman tanganmu,
Yang kini tak lagi menggenggamku erat
Tidakkah kamu menyadari itu?
Dan nanti, ketika kamu pergi.
Entah apa yang dapat kulakukan,
Untuk menahanmu agar selalu disisiku
Selain menangisi setiap detik yang terlewat tanpa dirimu
Kamu pergi
Dan aku pikir kamu takkan kembali
Kamu pergi
Menyisakan kenangan indah yang menyesakkan batin
Kamu,pergi.
Langganan:
Postingan (Atom)