AKU DAN MENDUNG YANG KAMU KECEWAKAN
Siang
tenggelam, karena mendung saat ini datang. Entah mengapa aku sangat menyukai
mendung, tak ada panas, tak ada hujan, hanya ada sejuk, dan kamu. Kamu yang
saat ini sedang berdiri di persimpangan koridor sekolah. Aku sibuk menghirup
hawa mendung, dan kamu sibuk tertawa dalam peradaban, dengan mata menyipit yang
melengkungkan pelangi. Aku suka. Termenung aku dalam memperhatikanmu. “hai, kok
belum pulang?” bayang mu dalam halusinasi lantas menjadi hidup. Kamu yang sontak
duduk mendampingi aku dan mendung membuka suara. Aku tak bisa menyangkal, aku
melambung tinggi ketika kamu mengucap Tanya untukku. Aku kesusahan untuk biasa
saja di hadapanmu dan menyembunyikan senyumku yang mulai mengembang. Perlu
waktu lama untukku menyerap kata-kata mu yang sekarang tersangkut pada
tenggorokanku. Aku tercekat. Jemari tanganmu menyentuh bahu ku, membuat aku
kembali tersadar bahwa ada kamu dalam nyataku saat ini. “hei, are you okay?”
logat fasih nya mengembalikan konsentrasiku yang buyar. “yes I’m.” dia
menggelengkan kepalanya diteruskan dengan pertanyaan “kenapa belum pulang?”
datarnya. “aku masih menikmati mendung,Dika.”
Nama yang membuat hatiku berdegup kencang ketika namanya disebut dan
terdengar olehku. “oh, kamu aneh. Biasanya orang itu suka hujan, aku kira kamu
sedang menunggu hujan.” Tanggapnya. “berbeda denganku.” Jawabku singkat dengan
senyuman setipis mungkin. Aku takjub saat ia kemudian berpangku dagu ikut
menghayati mendung. Seuntai kalimat pun muncul dari bibirnya yang manis.
“ternyata memang enak, aku mulai tahu kenapa kamu suka mendung. Hawanya sejuk,
pas, karna nggak panas dan belum turun hujan. Kayaknya aku mulai suka juga.”
Diikuti pandangan matanya yang tak lepas dari mataku, juga simpul senyuman yang
menghiasi bibirnya. “ya, begitulah.” Pandanganku yang lalu berpaling, ke
langit. Kami diam sejenak, membiarkan hawa-hawa sejuk menusuk tubuh kami, dan
diam membawa jalannya sang waktu. “nggak pulang?” tanyaku menghidupkan
ketenangan dan membuyarkan rangkaian kata dalam benak kami yang berlalu lalang.
“oh ya, aku pulang.” Jawabnya dingin lalu meninggalkan begitu saja. Aku dan
mendung. Entah, rasa sedih itu muncul. Dia sama sekali sosok yang tidak bisa
ditebak. Terkadang membuatku melambung dan kadang menghempaskan secara kejut,seperti
ini. sosoknya telah menghilang dari lingkar mataku. Punggung yang selalu ku
tahui itu juga telah termakan oleh waktu yang berlalu. Aku masih terdiam
membisu bersama mendung. Pikiranku memutar kepada beberapa waktu berharga lalu
tanpa kejadian pahit yang menyinggung tulang rusukku.
Matahari masih bersembunyi dibalik
awan, bulan tentu belum memunculkan sinar. Masih mendung dan hawa sejuk yang
menghiasi. Hanya ada aku dan mendung. Tanpa kamu, kamu yang hanya beberapa
menit lalu mengisi kekosongan sang mendung. Aku bangkit dari duduk ku. Perlahan
meninggalkan hawa mendung. Entah mengapa bayangnya melintas dalam pikiranku,
kemudian mataku. Tunggu! Ternyata memang bukan halusinasiku saja. Aku
terperanjat, mataku terbelalak. Rupanya ia belum benar-benar pulang. Dadaku
sesak memandangnya, bukan senyum yang kulengkungan kini, bukan juga sapaan yang
akan terucap. Hanya tetesan hujan dari mataku yang akan turun sebentar lagi.
Aku melihat wajahnya menampakkan sinar kebahagiaan, tatapnya lurus pada perempuan
dihadapnya. Tangannya menyatu dengan tangan perempuan itu. Aku berusaha menahan
air mata yang akan jatuh titik demi titik. Tanganku membungkam mulut, aku
berbalik arah dan berjalan setenang mungkin tanpa harus berlari. Air mataku
mulai turun sekenanya. Dia memang sulit ditebak, apalagi untuk hatiku. Entah,
aku bersembunyi, ditempat yang orang lain tak mungkin menghampiri. Air mataku
tumpah sejadi-jadinya. Hati ini hancur, bayangnya dengan perempuan itu masih
terlintas dalam pikiran. Mendung kini yang mengikutiku. Seraya ia melihatku
menangis dan bersedih, mendung mendampingiku. Kini bukan lagi antara kamu dan
mendung. Tapi hanya ada aku dan mendung, yang menggelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar