Waktu terus berjalan
dan membawa suatu hal, ia tak pernah berhenti ataupun kembali. Tujuannya adalah
masa depan. Tak tahu masa depan siapa, masa depan apa, ia hanya terus berjalan.
Ia tak pernah berlari ataupun lelah, ia hanya pergi berjalan kedepan. Sesuka
hatinya. Tanpa memikirkan sesuatu, tanpa memikirkan seseorang, entah dalam
keadaan suka maupun duka. Semakin sering kami bertiga. Ya, melakukan suatu hal
dengan Rahma dan Bagus. Rasanya aneh tanpa Putra, karena kami selalu berempat. Ia
hanya sibuk dengan dunia baru nya, dan kami tak berani untuk mengganggu nya,
mengusik kesenangan nya.
Hari-hari berikutnya
berlalu begitu saja tanpa Putra. Karena kami akan semakin terbiasa. Jam
istirahat pertama kali ini aku lebih memilih untuk berdiam diri di kelas dan
mendengarkan beberapa lagu yang ada di playlist hp melalui headset setelah
Rahma dan Bagus pergi ke kantin dan mengajakku sebelumnya. Mataku menyapu seisi
ruangan. Kelas menjadi sangat senyap kali ini, kulihat ternyata hanya aku dan
Putra yang juga sedang menggunakan headset di ujung ruang kelas. Aku menghela
nafas dan tak menghiraukan nya. Ku tundukkan kepala dan menenggelamkan diri
pada lagu yang sedang ku putar. Tak lama, seseorang seperti sedang berada di
hadapku. Aku terberanjat, lalu ku dongakkan kepala. Ternyata Putra. Aku mencoba
akrab dan bersahabat. “ngopo we Put. Get-get-i
wae” logat medhok ku keluar. “yo sorry to, Ga. Eh Ga, aku balikan lho sama Lia”
katanya. “wah bagus dong udah ga jomblo lagi niye. Jangan deketin cewek-cewek
lagi Put kan dah punya Lia sekarang kamu.” Sebisaku memberi advice. “iya bawel”
jawabnya. Kita memang tak lagi berempat.
Tapi terkadang Putra masih berbicara padaku untuk sekedar curhat ataupun
membicarakan hal-hal yang kurang penting kurasa. Ternyata memang sudah agak
lama Putra berpacaran lagi, namun kenapa baru sekarang ia menceritakannya aku
pun tak tahu.
Sore ini aku, Rahma dan
Bagus menghabiskan waktu bersama. Aku menceritakan tentang kejadian tadi siang
di sekolah. Menceritakan bahwa Putra balikan dengan mantannya. Awalnya mereka
kaget sama seperti ku namun pada akhirnya mereka menyadari nya karena itu sudah
menjadi buah bibir satu sekolah dan Putra juga mempublikasikannya pada social
media miliknya. Kami memikirkan suatu hal yang sama. Namun tak ada yang berani
mengungkapkannya. Kami biarkan fikiran itu pergi terbawa oleh waktu. Kekosongan
waktu dan sunyi nya suasana membuat Rahma mencurahkan isi hatinya pada aku dan
Bagus. “eh menurut kalian gimana nih? Aku lagi deket sama Fian loh….” Dan bla bla
bla aku juga Bagus mendengarkan.
Rupanya persahabatan
kami tak selamanya akan terus seperti ini. Menjadi bertiga, Putra menghilang
dari dunia kami, dan ternyata, selang beberapa bulan selanjutnya, Rahma pun
jadian dengan Fian. Aku dan Bagus sudah tak lagi kaget karena Rahma sering
menceritakannya pada kami. Tentang kisahnya. Tentang dirinya dan Fian.
Suatu saat Rahma
mengenalkan Fian pada Bagus dan aku. Saat sedang menghabiskan malam minggu
bersama-sama. Semenjak itu kami tak lagi bertiga untuk sekedar hang-out. Karena Rahma sudah punya
pacar, ia selalu bersama Fian bahkan saat kita bertiga. Jadi menurutku, kami
berempat meskipun dengan sosok yang berbeda. Berbeda dengan Putra, aku hanya
mengenal Fian sebagai kekasih hati Rahma. Aku tak menganggapnya lain. Karena
Rahma sudah bersama dengan Fian juga, ia tidak lagi menjadi teman perjalananku,
melainkan sekarang Bagus. Semenjak status Rahma berubah pula aku merasa dunia
nya hanya ada Fian dan kami menjadi semakin tersisihkan. Apa lagi yang bisa ku
perbuat. Sekarang aku hanya bisa berkeluh kesah dengan Bagus. Hanya ia yang
mampu mengerti ku. Kuharap juga sebaliknya. Aku merasa sekarang aku hanya punya
dia, sebagai pendengar cerita-cerita ku.
Waktu membawa ku dan
Bagus menjadi sangat dekat. Sahabat yang cukup dekat sekali. Aku, Bagus. Ya,
aku dan Bagus. Tak disangka juga kemana pun kita selalu berdua. Makan,
jalan-jalan, pergi nonton, ke kantin, pulang sekolah, dan sebaginya. Hanya ada
aku dan dia. Tak jarang kami sering diperbincangkan dan banyak yang mengira
bahwa kita mempunyai hubungan yang lebih. Namun tidak, tentu aku tidak
menganggapnya begitu.
Aku tidak tahu mengapa
perasaan buruk sering kali berkeliaran pada fikiranku akhir-akhir ini, pada
bayang-bayang semu diatas kepalaku, yang lalu memasuki mimpi-mimpi dalam
tidurku. Berulang kali aku menepisnya. Namun selalu muncul lagi, entah itu
firasat atau hanyalah prasangka. Yang membuat ku semakin gelisah adalah karena
aku tidak bisa menceritakannya pada siapapun. Orang yang kupercayai sekalipun,
termasuk Bagus. Aku benar-benar takut
untuk kehilangan.
“Hoyyy!!” Bagus
mengagetkanku pagi ini dengan menepuk pundakku. Ia memberikanku coklat.
Manisnya perbuatannya. Ia seperti nya berhasil membuat putri kecil ini senang.
Ya, ia selalu membuatku bahagia. Walau tidak ada lagi siapapun diantara kami.
Mungkin ini menjadi tanggung jawabnya untuk membuat sahabatnya selalu tersenyum
dihadapannya. Semakin sering ia membuat ku selalu merasa seperti ratu nya.
Terkadang aku merasa geli dengan setiap tingkahnya dan perbuatannya yang
seperti itu. Ia memberikan apapun yang aku minta, walaupun aku hanya
mengatakannya atau sekedar berkata tidak jelas, ataupun mengigo mengenai
sesuatu yang kuanggap indah. Keesokan harinya ia membelikannya untukku.
Terkadang aku juga merasa bahwa tidak seharusnya menjadi seperti ini. Menurutku
berlebihan dan keterlaluan. Namun dosa apakah aku bila menganggap kebaikan ini
tidak nyata?
Semakin sering aku
menghabiskan setiap akhir pekan pergi berdua dengan Bagus. Memang tidak wajar
tapi kenyataannya itu terjadi dan kami adalah sahabat. Dari dulu dan sampai
kapanpun maku tidak tahu mengapa aku berani sekali mengatakan nya. Seperti itu,
keyakinanku seakan tak goyah. Entah. Malam ini entah malam ke berapa pula aku
menghabiskannya dengan Bagus. Kami sedang makan di sebuah restaurant yang kurasa
cukup romantic sekali. Aku bisa mengatakannya seperti itu karena dekorasinya memang manis
sekali, indah, sangat bagus. Dengan lilin-lilin yang berada disetiap meja
makan, seperti candle light dinner, ditambah lagi disekeliling kami banyak
pasangan yang sedang menghabiskan malam minggunya bersama kekasihnya. Sangat
gila untukku, makan ditempat seperti ini. Sepertinya aku dan Bagus salah
memasuki restaurant. Mungkin tadinya Bagus tidak mengerti tempat ini sama
sekali. Karena bila ia telah tahu sebelumnya, ini adalah salahnya. Karena ia
yang mengajakku. Tapi kurasa itu tidak mungkin. Tak ada sesuatu yang kuanggap
buruk karena kita hanya menghabiskan waktu untuk makan dan memuji makanan yang
disajikan. Lalu ia mengantar ku pulang, seperti biasa.
Hari ini adalah jumat
yang paling tidak ingin kulewati. Sebaiknya tadi aku tidak berangkat ke
sekolah, sebaiknya aku memanjakan diriku dirumah untuk sesekali. Berpura-pura
sakit kurasa bukan menjadi masalah berat agar hari ini segera kulewati dengan
singkat. Entah setan apa yang merasuki Bagus siang itu. Aku merasa kecewa, marah,
kesal. Semua bercampur menjadi satu. Rasa yang saat ini masih terasa. Aku
membencinya. Aku ingin membunuhnya.
Ini adalah jumat ke 4
yang aku lalui sendirian. Tanpa siapapun disampingku lagi, entah sepertinya
para sahabatku telah punah satu demi satu. Hilang. Aku tidak lagi ingin
bersahabat jika akhirnya seperti ini. Dan benar, aku lebih baik mempunyai
banyak teman yang dapat membuatku selalu bahagia walau tanpa mengerti tentangku
sepenuhnya. Aku tidak lagi peduli. Bagiku tak ada lagi persahabatan dalam hidupku.
Dua bulan berlalu sejak
kejadian itu, hari ini sepertinya memihak padaku. Kelas dan seisinya sangat
mudah untuk dirindukan. Aku dan Rahma kembali dekat, namun kurasa hanya sebatas
rindu. Aku tetap tak bisa merubah apapun keadaan. Aku tak bisa menganggapnya seperti
dulu, karena memang ia telah pergi. Jika pun kembali, pasti tidak akan sama.
Kami dekat hanya sebatas seperti teman satu kelas. Aku tetap tak bercerita.
Apapun. Karena itu telah menjadi privasi bagi diriku yang tidak lagi kubagi
dengannya.
Rasa ini kusimpan sendiri.
Perasaan-perasaan menumpuk karena aku membiarkannya ada dan terus bertambah.
Setiap kali aku memandangnya, hatiku berdesir takut namun rindu. Setelah itu,
aku hanya menepisnya. Saat mata itu menatapku, aku merasakan sakit yang tiada
tara. Mungkin baginya itu sebuah ketulusan. Namun tidak denganku . aku
memandangya seperti sebuah malapetaka. Pipi yang ingin ku tampar
sekeras-kerasnya. Membuatku muak. Matanya nanar, wajahnya seperti seorang yang
sedang kehilangan. Ingin hati ini memeluknya, luluh terhadapnya, namun tak bisa
kita hanya menuruti hati tanpa menggunakan logika. Segera ku lupakan, dan tak
memikirkannya lagi.
Aku harus beristirahat.
Semua masalah yang terus menumpuk ini semakin membuat ku penat. Ditambah lagi
aku tidak mencurahkannya pada siapapun. Aku yakin bila kubiarkan seperti ini
terus, aku bisa gila. Bagaimana aku bisa diam saja bila sahabatku mencintaiku?
Ya, Bagus telah menyatakan perasaannya padaku. Meskipun aku telah menolaknya
secara halus, dan juga menasihatinya tentang fikir panjang ku, ia tetap
bersikeras memilikiku. Biarpun ia memintaku untuk jatuh cinta padanya, itu
takkan bisa. Karena memang bukan dia.
Dahulu sebelum semua
masalah ini mengalir deras, aku memang pernah berharap ia dan Putra menjadi
sahabatku kelak. Dan Tuhan pun mengabulkannya, walau Putra akhirnya pergi
menghilang dari dunia ku, atas nama persahabatan ini, karena ternyata
kekasihnya tak menyukai kedekatan Putra dengan kami. Ia ingin memiliki Putra
seutuhnya. Sebenarnya saat itu aku, Rahma maupun Bagus telah merasakan keanehan
yang terjadi pada sikap Putra, yang perlahan lahan lalu, ia pergi tanpa jejak.
Namun aku tak bisa
menyalahkan Putra sepenuhnya, sebelum ia pergi pun sebenarnya aku lah yang
pertama membuat persahabatan ini berantakan. Aku tidak bisa jujur pada mereka
karena aku tidak ingin membuat persahabatan ini rusak. Aku berfikir bahwa bila
aku jujur, dengan aku menyatakan alasan sepele ku, yang lalu aku pergi
menghilang untuk sementara, mereka akan membuntuti ku untuk satu persatu pergi.
Padahal aku yakin mereka pasti dapat mengerti, tapi, ketakutan ini membuatku
berkeputusan untuk berbohong. Namun, jujur atau pun tidak, nyatanya
persahabatan ini telah rusak. Kurasa memang sudah jalannya, mungkin inilah
takdir Tuhan, untuk mengakhiri persahabatan kami.
Yang paling tidak bisa
ku maafkan dari semua ini adalah Bagus. Cinta nya padaku membuat aku
membencinya. Karena sahabat tak selayaknya begitu. Memang aku tak bisa
menyalahkan ia sepenuhnya karena ini sudah hati yang berbicara, namun akan
menjadi lebih baik jika ia tidak menyatakan perasaannya. Membiarkan aku tak
pernah mengerti dan mengetahui isi hatinya.
Ternyata semua perasaan
ku kini benar. Semua menafsirkan suatu arti. Tentang prasangka ku, tentang kata
hatiku. Saat ini aku tak lagi bisa mengucapkan sebuah kata untuk Bagas, rasa
kecewa ku dihancurkannya. Marah hatiku belum juga padam. Jadi biarlah waktu
membawa perasaan itu hilang dengan sendirinya. Perasaan cintanya, perasaan
marahku dan segalanya yang membawa datangnya malapetaka ini. Biar kami saling
melupakan, tentang kami, karena itu telah menjadi sebuah kesalahan. Biarkan aku
tak lagi mengusik kehidupannya. Biarkan aku tak masuk lagi kedalam dunia nya,
biar dia dengan dunia nya, dan aku dengan duniaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar