‘Aku adalah satu
dari beberapa lainnya yang tak pernah percaya akan adanya persahabatan dengan
lawan jenis, tanpa salah satunya memiliki perasaan yang lebih dari sekedar
sahabat.’
Kurasa terik matahari
menyusup dalam rongga-rongga kelas yang terbuka dan menghangatkan seisi ruangan
dengan temperature yang cukup tinggi. Sehingga ketika kulihat sekeliling,
mereka yang berada di ujung-ujung ruangan sedang mengibas-ngibaskan tangannya.
Beruntungnya aku yang terduduk dibawah salah satu kipas angin yang terpasang di
dalam kelas. Setidaknya aku sedikit merasa sejuk karena-nya.
Suasana kelas terasa
senyap. Jam kosong hari ini membuat mereka menenggelamkan diri pada
kesibukannya masing-masing. Pada gadget yang mereka miliki, pada cerita yang
mereka perbincangkan, pada candaan yang mereka tertawakan, namun tidak denganku
yang menikmatinya dengan kebosanan, yang membuat kedua tanganku berpangku dagu.
Sedetik lalu kutundukkan wajah, sedetik kemudian kubenamkan wajah pada bibir
meja sehingga keningku menempel, sedetik setelahnya ku tempelkan pipi pada muka
meja. Begitu terus berulang hingga seseorang mengejutkan jantungku pada
ketenangan. “Gaa..”. Sekejab aku melarikan diri dari mimpi yang hampir menyentuhku.
“Hmm..”. balasku dengan rasa malas. “Ayo nonton ini” kata Rahma yang saat itu
memang sudah lama terduduk disampingku yang sedari tadi menatap layar hp tanpa
suara, akhirnya ia membuka percakapan sambil menyodorkan hp nya padaku. “Sama siapa?” jawabku.
Mata Rahma menyapu sekeliling kelas. Hampir aku membenamkan diriku lagi pada
meja dihadapanku karena Rahma terlalu lama untuk menjawab pertanyaanku, lalu ia
akhirnya membuka mulut “nah itu sama Bagus, Putra aja.” Kantukku hilang
seketika, dan raut wajahku mulai menyipitkan mata. “Hah? Sama mereka? Serius
kamu?” jawabku penuh tanya. “Iya,kamu gapapa kan?” Tanya Rahma.”Emm ga sih
gapapa” balasku ragu. Aku terus berfikir. Aku memang sangat dekat dengan Rahma
namun tidak begitu dekat dengan Bagus ataupun Putra. Lalu imajinasi ku
melambung tinggi namun segera kutepis bayang semu itu.
Kemudian Rahma pun
memanggil dua anak laki-laki itu yang memang sedang duduk satu meja diujung
belakang ruang kelas. “heh kalian sini” panggilnya. Rahma memang terlihat sangat
akrab dengan mereka berdua. “ayo berempat nonton ini mau nggak?” Tanya nya
cepat. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan mereka bertiga. “ho.o yuk ntar aja
pulang sekolah kan mumpung pulang pagi. Mau ga?” Jawabku bersahabat sebisa
mungkin. “Aku sih ayo-ayo aja.” Bagus membuka suara. “yowes yo” akhirnya Putra
pun mengakhiri percakapan.
Tak lama bel sekolah
pun berdentang. Kami berempat langsung berkumpul di depan kelas dan segera
beranjak meninggalkan sekolah. Dan akhirnya kami pun hang-out bareng. Begitu terus berulang hingga tanpa kami sadari
kami menjadi dekat dan sering sekali bersama-sama dalam melakukan suatu hal. Kegiatan
didalam kelas maupun diluar kelas, contohnya seperti saat jam istirahat tiba
kami berempat menuju kantin, membuat kelompok belajar ataupun semacamnya. Waktu
luang pun kami gunakan untuk sekedar bermain bersama seperti
nonton,jalan-jalan,makan,dan lain-lain. Hari-hari kami lewati bersama. Aku
menjadi semakin tahu tentang masing-masing dari mereka. Begitupun sebaliknya.
Masa-masa memberatkan
saat sekolah pun datang. Tiba masa ujian yang paling ditakuti dan menjadi momok
bagi para siswa nya. Begitu juga dengan ku. Namun entah mengapa ujian kali ini
tidak begitu memberatkan beban ku. Entah karena itu hanya ujian tengah semester
ataupun karena sekarang aku mempunyai sahabat yang sangat aku cintai. Ya, kami
berempat membentuk sebuah persahabatan, karena keseharian kami yang selalu
dilalui bersama. Mereka memang tidak menamainya tapi aku mempunyai nama kecil
untuk kami,yaitu persahabatan berempat. Apa-apa yang kami lakukan selalu
berempat menjadi dasar dari nama tersebut. Kami selalu bahagia atas apapun yang
kami lakukan bersama.
Hari rabu minggu ini
menjadi hari yang sangat ingin segera ku lewati dengan singkat. Seminggu jadwal
ujian sekolah, baru dua hari terlewati. Terlebih, besok adalah jadwal ujian
matematika. Entah, aku sangat lemah pada pelajaran matematika. Namun tidak
dengan Rahma, ia jagonya pelajaran yang sudah layaknya hantu bagiku itu. “Teng
Teng Teng” bel tanda pulang sekolah berdentang. Tak kusangka ujian hari kedua
ini pun berhasil kulalui dengan mudah. Para siswa bergegas mengumpulkan lembar
jawab mereka pada meja guru. Begitu juga dengan ku, Putra, Rahma, dan Bagus. Ya, kami berempat berada pada ruang
ujian yang sama. Seusai merapikan barang-barang kami berkumpul didepan kelas
seperti biasanya yang kami lakukan. “Gimana nih besok matematika lagi!!” seru
ku. “ho.o pie nih?..iya pie yo mesti susah soale besok” celoteh Putra dan
Bagas. “yaudah belajar bareng aja yuk sekarang. Tak ajarin wes.” solusi Rahma
. “Tapi pulang dulu yuk ganti baju.”
Jawab Putra. “halah Put, kelamaan.” Jawabku. “Yaudah biar aku sama Putra aja
yang ganti, kalian gausah.” terus Bagus. “Yoi, lagian kan rumahku deket sama
sekolah. Kalo kalian kan jauh.” tambah
Putra. “Hmm.. ya aku sama Mega tak duluan aja ya.” Tangkas Rahma cepat.
“Eh di kafe biasanya aja ya? Aku laper nih. Biar ntar nongkrong sambil
belajar.” Gerutu Putra. “ok di tempat biasa. Bye” tambahku.
Sampai di kafe kami
belajar bersama seperti biasanya. Rahma mengajari kami bertiga pelajaran
matematika dengan lihainya. Namun lama-kelamaan kami merasa jenuh dan akhirnya
Rahma pun mengajak kami bertiga untuk pergi nonton film. Karena kami semua sedang
bosan, akhirnya kami pun menyanggupi ajakan Rahma. Seusai nonton film tak
terasa waktu terus berjalan hingga langit mempertontonkan perjalanan matahari
yang akan bersembunyi. Kulihat hp ku bergetar. Ternyata sebuah pesan singkat
dari orangtuaku untuk cepat pulang. Firasat ku tidak enak. Ada yang salah.
Sesegera mungkin aku berpamitan pada teman-teman ku meskipun mereka sudah tahu
alasannnya dan mengiyakannya. Aku pulang.
Langit meredup, matahari
memadamkan cahayanya. Perjalanan pulang kali ini kunikmati dengan tergesa-gesa.
Aku ingin segera sampai rumah. Entah. Akhirnya aku memasuki gerbang rumah
dengan selamat. Namun aku tak tahu untuk nanti. Hatiku serasa bergetar.
Jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Papa sedang terduduk di teras rumah
menanti keadatanganku. Kuberanikan diri untuk sekedar bertatap muka dan
akhirnya beliau membuka suara dengan memarahiku mengapa pulang terlambat dan
menasihatiku karena ini sedang musim ujian dan tak seharusnya aku malah
keluyuran. Papa adalah sosok ayah yang sangat tegas dan keras. Ia sangat
memperhatikan aku sebagai putrinya. Dan seorang anak yang berbakti pun harus
tunduk pada perintahnya. Aku hidup untuk kedua orangtuaku. Papa termasuk
didalamnya. Aku hanya ingin membahagiakan mereka dan membuat mereka bangga akan
ku.
Gila. Sangat tidak
masuk di akal. Aku kesal-se-kesal-kesal-nya diri. Aku tidak bisa mengerjakan
soal ujian matematika. Kurasa seperti sia-sia belajar kelompok kemarin. Aku
marah juga kecewa. Namun pada diriku sendiri. Membuang waktu berlalu begitu
saja. Membiarkan rasa bosan mengalahkan diri. sesal datang, juga pesimisku.
Rupanya tak ada yang bisa kulakukan untuk dapat menaklukan matematika seperti
Rahma. Bel sekolah berdentang. Tandanya ujian hari ini berakhir. Selalu, kami
berempat berkumpul setelah mengerjakan ujian untuk sekedar membagi cerita atau
keluh kesah mengerjakan soal ujian. Termasuk soal matematika yang sangat
membuat ku muak barusan. Tanpa disangka Bagus mengajak untuk belajar bersama
lagi. Begitu cepat mereka melupakan matematika. Ingatan ku berputar pada
kemarin petang. Aku memutuskan untuk tidak ikut, bertolak belakang dengan apa
yang diinginkan hatiku. Kuceritakan semuanya, tentang kejadian kemarin sore
itu. Akhirnya mereka mengerti dan memaklumi keputusanku. Mereka pergi tanpa
aku.
Waktu berlalu. Hasil
ujian pun terpampang didepan wajahku. Mataku menjawab satu demi satu nilai yang
ku peroleh. “baik..baik..baik..”benakku berkata. Hingga akhirnya terhenti pada
nilai matematika. “Apa? Nggak tuntas? Seriusan ? duh gimana nih!” omelan batin
ku terus berlanjut. Setelah guru mengatakan bahwa hasil yang diperoleh harus
ditandatangani orangtua, aku menjadi gelisah saat ini. Apa yang harus ku
katakan kepada papa. Bagaimana ini. Amarah papa sudah terlintas dalam bayangku.
Aku takut.
Keadaan rumah malam ini terasa sunyi. Walaupun
semua orang yang ku sayangi berada di dalamnya. Mama, papa, dan kedua adikku.
Ketenangan memberanikan ku untuk segera memberikan hasil ujian ku pada papa.
Ya, untuk ditandatangani pastinya. Semenit,dua menit,tiga menit, beliau terdiam.
Papa mengoreksi dalam keadaan diam. Sebenarnya hasil ujian kali ini cukup
bagus. Aku berada pada peringkat yang aman kurasa. Namun matematika layaknya
mimpi buruk yang seketika datang saat aku tertidur nyenyak, merusak segalanya.
Papaku membuka suara “matematika mu jelek banget padahal kemarin katanya
belajar bareng. Percuma tau nggak, udah pulang sore juga, harusnya kamu bisa
mikir kenapa hasilmu segini.” Layaknya batu karang yang dihantam sang ombak,
layaknya pedang yang menancap di dadaku. Aku tertusuk sangat dalam. Sakit.
Memang ini yang sudah ku fikirkan. Kata-kata seorang ayah yang tegas sudah
seharusnya seperti ini. Kecewa terhadap sang anak. Aku tetap diam membungkam
mulut “sampai beberapa minggu kedepan kamu nggak usah kebanyakan main, pulang
sekolah langsung pulang, nggak ada lagi alasan.” Kata-katanya seperti menusuk
ku sangat dalam dan lebih dalam lagi. Tak ada yang bisa ku sangkal. Ini yang
memang layak aku dapatkan karena sudah menghancurkan rasa percaya nya.
Entah. Pagi ini mengapa
matahari terlambat memunculkan sinar, menghangatkan ku yang kedinginan,
mencairkan suasana dingin ini. Kelas nampak kosong. Karena baru beberapa siswa
saja yang sampai. Kata-kata papa masih terasa di telingaku dan dibenakku,
seperti kaset yang terus di putar tanpa henti sampai akhirnya Rahma datang
menepuk pundakku. “Ga.. ada apa?” katanya. Saat mulutku hendak ingin membuka
suara, Putra menyusul datang untuk mendengarkan. “jadi gini, aku..” tiba-tiba
Bagus menyusul datang dan memotong pembicaraanku “ayo eh ujian kan dah selesai,
ntar pulang sekolah kita nonton yuk lagi ada film bagus lho di bioskop.” ,
Rahma yang maniak film pun akhirnya menambahkan “ho.o iya nonton itu lho apa
namanya yang lagi hits itu film horror…..” aku rasa mereka melupakan ku. Aku
mencoba untuk diam saja. Menyimpan semua kata yang akan ku ungkapkan. Namun Putra
seperti tahu akan-ku dan menghentikan suara-suara yang riuh menenggelamkan
tujuan awalku untuk bicara. “woy!! Kalian bisa diem dulu nggak sih, Mega tadi mau
ngomong bego malah kalian potong seenak jidat.” Suara Putra bernada emosi
berhasil mencairkan suasana di atmosfer. “dah Ga, lo mau ngomong apaan tadi?” lanjut
Putra dengan logat Jakarta nya. “mm..gue gaboleh main lagi. Gatau kenapa. Jadi kalian
kalo mau pergi bertiga aja ya tanpa gue. Jangan kangen hehe.” Canda ku disertai
tawa. Nada bicara ku mencoba santai juga mengikuti logat Putra. Aku tak
memberitahunya, aku tak menceritakannya, kusimpan dalam- dalam. Entah lalu aku
berpasangka buruk nantinya, tapi segera ku tepis. Semua bungkam dan ingin
memulai untuk menanyakan perkataanku sampai pada akhirnya guru datang. Pupus
harapan mereka untuk menanyakannya, dan hirauan ku tak di anggapnya ada. Kurasa
mereka mengerti namun harus kualihkan perhatian mereka.
Istirahat kali ini kami
berkumpul di kantin seperti biasanya. Kuperhatikan ketiga sahabatku ini masing-masing
sibuk dengan dunianya. Aku yang berada dibalik minuman ku sedang berpura-pura
mengaduk dengan sedotan. Rahma dan Bagus dengan
makanannya, namun tidak dengan Putra. Sedari tadi ia sibuk pada gadget
nya dengan rupa yang tak bisa kubaca. Aku mencoba mencairkan suasana dengan
mengambil hp nya secara tiba-tiba. “wuih gilaa cewek semua Put, applause “ gerutu ku. “heeh sini-sinii
mana hp ku, iya sih cewek semua tapi kan cuman temen” balasnya. Rahma dan Bagus
mencoba melihat hp nya namun bel masuk berbunyi dan memenangkan Putra karena hp
nya kembali padanya.
Sepulang sekolah mereka
bertiga akhirnya pergi. Walau tanpa aku. Sedih memang tapi mau bagaimana lagi.
Semakin lama aku semakin terbiasa, walaupun aku tidak bersama mereka ketika
nongkrong,makan,ataupun nonton film, namun di sekolah kami tetap selalu bersama
sampai suatu saat Putra tiba-tiba melakukan apa yang ku lakukan sebelumnya. Ia
tidak lagi ikut ketika kami berempat pergi ke kantin, ia sibuk dengan hp nya,
aku mulai berfikir ada apa. Dia menjadi semakin sering diam dan melakukan suatu
hal tanpa kami. Entah. Kami bertiga menyadari nya namun tak ada yang berani
untuk bicara. Kami membiarkan nya, kami tak mau memaksa kehendak nya...(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar